Pada fiskal yang sehat, terdapat warga-negara yang kuat. Pada APBN yang kuat, terdapat warga-negara yang bermartabat. Mengapa begitu? Karena kebijakan fiskal dan APBN bukan sekadar urusan angka dan neraca, melainkan urat nadi kedaulatan ekonomi bangsa.
Dalam rancangan Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (RUUPNKS), fiskal dipahami sebagai alat ideologis untuk menegakkan keadilan sosial dan menjaga kedaulatan dan kemandirian ekonomi. Fungsinya tidak hanya menjaga keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran negara, tetapi memastikan seluruh aktivitas keuangan publik berpihak kepada kemakmuran warga negara. APBN tidak diposisikan sekadar instrumen teknokratis, melainkan refleksi moral atas sejauh mana negara menunaikan tanggung jawab konstitusionalnya terhadap kesejahteraan seluruh warga.
Dalam kerangka ekonomi Pancasila, fiskal menjadi penggerak utama redistribusi ekonomi dan pemerataan wilayah. Ia tidak boleh menjadi alat akumulasi modal bagi kelompok elit, melainkan sistem yang menjamin kesejahteraan secara merata di seluruh daerah. Makin merata kapital nasional di sebuah negara, makin sejahteralah warganya.
Karena itu, pemerintah perlu menata ulang struktur pajak agar lebih progresif, memperkuat basis penerimaan domestik, dan menutup celah kebocoran anggaran akibat korupsi birokrasi. Pajak seharusnya dimaknai sebagai simbol solidaritas sosial dan gotong royong ekonomi, bukan semata kewajiban administratif. Di titik ini, kebijakan fiskal menjadi cara negara mewujudkan keadilan ekonomi yang berkeadilan dan berkepribadian.
Disiplin anggaran dan prinsip keseimbangan fiskal menjadi ukuran moral sekaligus rasional dalam pengelolaan keuangan negara. Defisit yang berkepanjangan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi menandakan lemahnya disiplin politik anggaran. Pemerintah harus berani memutus ketergantungan pada utang luar negeri yang telah lama menjerat kemandirian fiskal.
Singkatnya, kekuatan anggaran nasional hanya dapat dibangun melalui efisiensi penerimaan, pengendalian belanja yang tidak produktif, serta kebijakan penghapusan subsidi yang tidak tepat sasaran. Negara yang mampu membiayai dirinya sendiri adalah negara yang berdaulat secara ekonomi dan bermartabat secara politik.
Perekonomian nasional yang berlandaskan asas kekeluargaan mengandung pesan bahwa kebijakan fiskal harus berpihak pada kepentingan kolektif warga negara, bukan pada kepentingan korporasi semata. APBN harus berfungsi sebagai sarana pemberdayaan sektor riil, koperasi, dan UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Dalam posisi ini, fiskal bukan hanya urusan administrasi keuangan negara, melainkan wujud nyata politik anggaran yang berpihak pada warga produktif. Anggaran yang berpihak pada warga negara merupakan cerminan demokrasi ekonomi yang hidup dan berakar pada nilai keadilan sosial.
Perlu kita sadari bersama bahwa negara ini memiliki tanggung jawab sosial untuk memastikan distribusi kesejahteraan berjalan adil dan berkelanjutan. APBN harus mencerminkan keberpihakan terhadap kelompok yang rentan dengan memperkuat investasi negara dalam pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial.
Pengeluaran publik yang adil bukan bentuk belas kasihan, melainkan amanat konstitusi. Ketika fiskal diarahkan untuk menghapus ketimpangan sosial, negara sedang menegakkan keadilan substantif di mana kebijakan ekonomi menjadi instrumen kemanusiaan yang melindungi dan memampukan seluruh warga negara.
Kredibilitas dan transparansi fiskal menjadi kunci dalam membangun kepercayaan publik. Pemerintah perlu menggeser paradigma dari pendekatan berbasis masukan menuju pendekatan berbasis hasil agar setiap kebijakan fiskal dapat diukur dari dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan produktivitas nasional. Fiskal bukan lagi sekadar dokumen anggaran, melainkan alat transformasi sosial dan pembangunan. Partisipasi warga negara dalam mengawasi APBN menjadi tanda kedewasaan demokrasi ekonomi dan keterbukaan pemerintahan.
Secara teoretis, arah kebijakan ini sejalan dengan pandangan Gunnar Myrdal (1960) yang menempatkan kebijakan fiskal sebagai sarana keadilan sosial dan kohesi nasional. Myrdal menegaskan bahwa ketimpangan ekonomi tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar karena akan melahirkan proses kausal kumulatif yang semakin memperlebar jurang sosial.
Fiskal menurutnya harus digunakan untuk memperkuat integrasi nasional melalui kebijakan redistributif yang melindungi kelompok lemah. Pemikiran ini berpadu dengan gagasan Sri-Edi Swasono (2009) yang menyebut fiskal Pancasilais sebagai fiskal yang bermoral, di mana setiap rupiah dalam APBN merupakan alat pemerataan dan penguatan kedaulatan. Ketika teori Myrdal disatukan dengan nilai ekonomi Pancasila, lahirlah sistem fiskal berdaulat yang tidak tunduk pada logika pasar, melainkan berdiri atas dasar keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab.
Kebijakan fiskal yang diatur dalam Undang-Undang Perekonomian Nasional harus menjadi garda depan dalam menenggelamkan sistem ekonomi pasar bebas yang telah lama merusak struktur keadilan bangsa. Pasar bebas terbukti menciptakan ketimpangan struktural, melemahkan sektor produktif domestik, dan menempatkan negara hanya sebagai pelayan modal global.
Karena itu, kebijakan fiskal perlu ditegaskan sebagai alat pembebasan ekonomi untuk mengembalikan kendali negara atas sumber daya dan arah pembangunan. Undang-Undang Perekonomian Nasional adalah fondasi untuk menegakkan ekonomi Pancasila yang adil, mandiri, dan berkepribadian, sekaligus menenggelamkan paradigma liberal yang telah menggerogoti kedaulatan ekonomi bangsa. Kini saat yang tepat untuk menyehatkan fiskal dan APBN demi cita-cita menegakkan Negara Pancasila.











