Satu Abad Pramoedya Ananta Toer di Mata Budayawan dan Seniman

“Pram adalah sosok yang mungkin hanya muncul sekali dalam seabad”

News8897 Views

AUTENTIKWOMAN.Com-Tahun 2025 menjadi momen istimewa bagi dunia sastra Indonesia karena perayaan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer melalui gerakan #SeAbadPram.

Dengan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa, Pramoedya adalah lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.

Perayaan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer ini digagas oleh Pramoedya Ananta Toer Foundation bersama Komunitas Beranda Rakyat Garuda dengan festival peluncuran akan digelar di kota kelahiran Pram, Blora, pada 6-8 Februari 2025.

Acara tersebut akan meliputi pemancangan nama jalan Pramoedya Ananta Toer, memorial lecture, diskusi, pameran cetak ulang buku, screening film, pementasan teater, dan konser musik bertajuk “Anak Semua Bangsa” yang menghadirkan musisi nasional.

Perayaan ini menjadi langkah strategis untuk menghargai sosok Pramoedya sebagai sastrawan, pemikir, jurnalis, dan pejuang bangsa. Merayakan Pram adalah merayakan kekayaan intelektual dan semangat perlawanan yang tetap relevan sampai sekarang.

Meskipun telah tiada, Pram akan selalu dikenang oleh budayawan dan seniman yang mengenal dan mengaguminya.

Bupati Blora, Dr. Arief Rohman, turut menyampaikan antusiasmenya. “Kami mengundang semua pecinta Pram untuk datang ke Blora dan merayakan anak Blora yang telah menginspirasi dunia ini,” ungkapnya.

Deretan acara-acara #SeabadPram Sepanjang tahun 2025, gerakan #SeAbadPram telah mengagendakan sejumlah acara dalam rangka memeriahkan satu abad Pramocdya Ananta Toer, antara lain:

  1. Cetak Ulang Karya-Karya Terpilih Pramoedya Ananta Toer,
  2. Peluncuran Situs Bibliografi dan Repositori Arsip seabadpram.com,
  3. Memorial Lecture,
  4. Festival Film dan Dokumenter Pramoedya Ananta Toer,
  5. Pameran Sketsa dan Patung Wajah Pramoedya Ananta Toer,
  6. Pementasan Monolog “Bunga Penutup Abad” bersama Titimangsa,
  7. Dramatic Reading Surat-surat Pramoedya Ananta Toer,
  8. Pameran Arsip-arsip Pramoedya Ananta Toer,
  9. Residensi Sastra di Pulau Buru,
  10. Seminar Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dan Pramoedya Award,
  11. Sayembara Esai Pramoedya Ananta Toer, 12. Pramoedya Ananta Toer Reading Group.

Budayawan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Hilmar Farid menggambarkan Pramoedya sebagai sosok yang patut dikenang. “Pramoedya adalah sosok penting yang patut dikenang. Karya dan kiprahnya memberikan insight relevan untuk hari ini dan masa depan Indonesia,” kata Hilmar Farid, pada Selasa, 21 Januari 2025, seperti dikutip Antara.

Hilmar juga melihat Pramoedya sebagai salah satu penulis Indonesia yang karya-karyanya paling banyak diterjemahkan ke bahasa asing, sekitar 25 bahasa. Karya-karya Pram ini berhasil menarasikan Indonesia dengan begitu memukau yang mencerminkan keteguhan dan kecerdasan sang penulis.

“Jadi sejak awal ya, ketika mulai menulis di tahun 50-an, sampai kemudian di tahun-tahun 80-an tuh karyanya, pengaruhnya luar biasa gitu. Dia sejak usia belasan tahun sudah memilih jalan sebagai penulis, dan kemudian mendedikasikan hidupnya sampai akhir hayat itu sebagai penulis. Dia bahkan menyebut bahwa menulis itu adalah tugas nasionalnya dia gitu ya,” ujarnya.

Menurut mantan Dirjen Kebudayaan itu, dedikasi Pram tidak lepas dari berbagai konsekuensi berat, dia harus merasakan pahitnya penjara.

Namun, Hilmar menekankan, pengalaman itu menunjukkan keteguhan prinsip Pram mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tulisan. Hilmar menggarisbawahi, konsistensi Pram adalah teladan berharga di tengah berbagai pilihan hidup yang sering membingungkan.

Meskipun perjalanan hidup Pram dipenuhi banyak hal tidak menyenangkan, karya-karyanya tetap hadir dengan gemilang. Bagi Hilmar, warisan Pramoedya adalah cermin perjalanan seorang manusia yang konsisten dan teguh memegang prinsip, sekaligus pengingat tentang kekuatan kata-kata menarasikan sebuah bangsa.

Seniman dan Aktris, Happy Salma menyebut Pramoedya sebagai sosok luar biasa, seorang penulis yang mampu menggerakkan hati banyak orang melalui karya-karyanya.

Menurut Happy, generasi saat ini sangat beruntung karena dapat membaca karya Pram secara leluasa serta memahami pandangan-pandangan yang memantik keberanian dan solidaritas atas nama kemanusiaan. “Pram adalah sosok yang mungkin hanya muncul sekali dalam seabad,” tuturnya.

Happy Salma menegaskan, di kancah dunia, Pramoedya adalah sosok yang tidak hanya milik Indonesia, tetapi juga milik dunia. Dengan karya-karya yang diterjemahkan ke beberapa bahasa, Pram menjadi duta yang mengenalkan Asia melalui sastra.

“Dia (Pramoedya Ananta Toer) adalah seorang tokoh luar biasa, seorang inspirasi yang akan terus hidup melalui karyanya,” ujar Happy.

Pram dari penjara ke penjara

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaris Indonesia, tak lepas dari kisah kelam masa penahanannya. Sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga era Orde Baru, Pram harus mendekam di balik jeruji besi di berbagai penjara.

Penjara Pertama: Salemba (1947 – 1949)

Penahanan pertama Pram terjadi pada masa penjajahan Belanda, tepatnya setelah Agresi Militer II Belanda pada 1947. Beliau ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Salemba karena dituduh terlibat dalam aksi perlawanan terhadap Belanda.

Penjara Kedua: Bukittinggi (1949 – 1951)

Setelah Agresi Militer Belanda II berhasil ditumpas, Pram dibebaskan dari Penjara Salemba. Namun, masa kebebasannya tak lama. Pada tahun 1949, beliau kembali ditangkap dan ditahan di Bukittinggi, Sumatera Barat, oleh pasukan tentara kolonial Belanda yang masih menduduki wilayah tersebut.

Penjara Ketiga: Glodok (1951 – 1952)

Seiring dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, Pram dipindahkan dari Bukittinggi ke Penjara Glodok di Jakarta. Di sini, beliau mendekam selama kurang dari setahun sebelum dibebaskan pada 1952.

Penjara Keempat: Pulau Buru (1969 – 1979)

Penahanan terpanjang Pram terjadi pada masa Orde Baru. Beliau ditangkap tanpa proses peradilan pada 1969 dan diasingkan ke Pulau Buru, Nusa Tenggara Timur. Di pulau terpencil ini, Pram dan ribuan tahanan politik lainnya dipaksa bekerja keras dan hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Penjara Kelima: Cipinang (1979 – 1980)

Setelah 10 tahun diasingkan di Pulau Buru, Pram dipindahkan ke Penjara Cipinang di Jakarta. Di sini, beliau tetap aktif berkarya dan menyelesaikan beberapa karyanyayang monumental, seperti “Bumi Manusia” dan “Anak Semua Bangsa”.

Penjara Keenam: Nirbaya (1980 – 1988)

Pada 1980, Pram kembali dipindahkan ke Penjara Nirbaya (sekarang Lapas Narkotika Jakarta) di Jakarta. Di sini, beliau mendekam selama 8 tahun sebelum akhirnya dibebaskan pada tahun 1988.

Penjara Ketujuh: Cipinang (1995 – 1996)

Kebebasan Pram tak berlangsung lama. Pada 1995, beliau kembali ditangkap dan ditahan di Penjara Cipinang atas tuduhan makar. Beliau dibebaskan setahun kemudian setelah menjalani hukuman 1 tahun.

Setelah pengasingan berakhir, Pramoedya Ananta Toer menghasilkan banyak karya melalui buku, di antaranya Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000). Beberapa di antara karyanya diterjemahkan ke Bahasa Belanda dan Inggris.

Kisah perjalanan Pram dari penjara ke penjara merupakan cerminan dari keteguhan dan semangatnya yang tak pernah padam. Meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan dan tekanan, Pram tetap berkarya dan menuangkan pemikirannya melalui tulisan-tulisannya yang kritis dan berani.

Kisah hidup Pram menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya kebebasan dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Semangatnya yang pantang menyerah dan karyanya yang abadi akan terus menginspirasi generasi muda untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.

Pramoedya Ananta Toer meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta. Dia meninggalkan warisan karya yang monumental dan terus menginspirasi pembacanya.

Berikut, salah satu puisi karya Pramoedya Ananta Toer

 

Puisi Untuk Ayah

Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah

Pulang ke teduh matamu

Berenang di kolam yang kau beri nama rindu

 

Aku, ingin kembali

Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman

Memetik tomat di belakang rumah nenek.

 

Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,

Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur

Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi

 

Aku ingin kembali ke rumah, Ayah

Tapi nasib memanggilku

Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi

Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata

 

Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya

Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah

Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada

 

Maka aku menungganginya

Maka aku menungganginya

 

Menyusuri hutan-hutan jati

Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya

Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa

Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,

Mencipta banjir dari genangan air mata

 

Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir

Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi

Hujan ingin bercerai dengan banjir

Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia

 

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

 

Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu

Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya

Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *