Dituding Langgar Hak Cipta, Nenek 78 Tahun di Klaten Kena Denda Rp115 Juta

News1622 Views

AUTENTIKWOMAN.Com-Kisah pilu dialami nenek Endang (78) dipanggil Polda Jateng gegara menayangkan siaran sepakbola dari vidio.com di rumah pada Mei 2024.

Peristiwa menyayat hati itu, bermula ketika nenek bernama Endang (78) tengah mengadakan acara halal bihalal bersama keluarganya. Meskipun sedang sibuk menerima sanak saudara, Endang tetap membuka warung kopi kecilnya yang terletak di halaman rumah.

Tanpa dia sadari, televisi di warung tersebut menayangkan pertandingan sepak bola dari siaran berbayar. Tiba-tiba, datang dua orang tak dikenal memesan kopi. Keduanya bertubuh kekar dan sempat memotret suasana di warung itu.

Sebulan kemudian, tepatnya pada 2 Juni 2024, Endang menerima surat somasi. Saat ditemui wartawan Tribun Jateng, Rezanda Akbar, Endang terlihat berjalan tertatih menggunakan tongkat saat memenuhi panggilan mediasi di kantor Ditreskrimsus Polda Jateng, Senin, 25 Agustus 2025.

Dengan ditemani menantu dan cucunya, Endang hadir terkait dugaan pelanggaran hak cipta tayangan Liga Inggris milik salah satu platform penyedia siaran langsung. Platform tersebut diketahui sebagai pemegang hak siar eksklusif Liga Inggris selama tiga musim dan sudah memperpanjang kontrak hingga 2028.

Di kawasan Asia Tenggara, nilai hak siar Liga Inggris bahkan bisa mencapai USD 60 juta atau sekitar Rp900 miliar per musim. Tak heran, pihak platform sangat ketat menegakkan aturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam undang-undang tersebut, pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 4 tahun serta denda maksimal Rp1 miliar. Aturan itu tidak hanya berlaku bagi pihak yang meraih keuntungan komersial, tetapi juga melarang penyiaran tanpa izin, termasuk melalui media sosial maupun acara nonton bareng di ruang usaha, meskipun tidak memungut tiket resmi.

Hal inilah yang akhirnya menjerat Endang, ketika siaran langsung pertandingan sepak bola diputar di warungnya tanpa sepengetahuannya. Endang mengisahkan, pada saat kejadian ia merasa janggal dengan sikap dua pembeli yang datang tiba-tiba lalu mengambil foto-foto di lokasi.

“Awalnya itu kan halal bihalal. Kita kumpul keluarga saja, bukan niat nonton bareng. Terus ada orang datang bertubuh tegap pesan kopi hitam dua terus foto-foto,” tutur Endang, dikutip dari TribunJateng.com.

Dia juga menegaskan tidak mengetahui siapa yang menyalakan siaran bola tersebut. Endang memang mengaku berlangganan layanan itu untuk kebutuhan pribadi bersama keluarga, tetapi bukan untuk kegiatan komersial.

“Kalau nobar itu kan diniati, ada tiket, ada komersil. Wong kita enggak ada tiket, enggak ada apa-apa. Itu acara keluarga,” jelasnya.

Dalam surat tersebut, Endang dituduh melanggar hak cipta karena menayangkan pertandingan Liga Inggris di tempat umum. Hal yang membuatnya makin terpukul, kata Endang, adalah besaran ganti rugi yang diminta mencapai Rp115 juta.

Karena itu, Endang menolak membayar begitu saja dan memilih menempuh jalur hukum. Menurutnya, tuntutan itu sangat tidak wajar, terlebih karena ia tidak memperoleh keuntungan dari penayangan siaran bola tersebut.

“Mintanya Rp115 juta, saya tidak ikhlas. Lha wong saya ini orang tua, sakit jantung, sudah 22 tahun minum obat. Rasanya itu berlebihan sekali,” tutur Endang.

Kepada penyidik, Endang menceritakan ada dua orang pembeli yang datang dengan sikap mencurigakan. Endang menduga mereka adalah pelapor yang sengaja mencari kesalahan hingga membuatnya terjerat kasus hukum.

“Bajunya hitam-hitam, beli kopi. Tahu-tahu moto-moto (mengambil foto). Saya jadi curiga, kok kayak cari-cari kesalahan,” kisahnya.

Meski begitu, Endang berusaha tetap tenang menghadapi proses hukum ini. Dia pun menyerahkan urusan mediasi sepenuhnya kepada anak dan menantunya karena kondisi kesehatannya yang sudah lemah.

“Saya ini nenek-nenek. Kesal iya, tapi ya harus berani. Insya Allah enggak apa-apa,” ucap Endang pelan.

Endang merasa ada kejanggalan dalam perkara hukum yang menimpanya. Menurutnya, acara kumpul keluarga justru diperlakukan sama seperti kegiatan bisnis nonton bareng berbayar.

Apalagi, nilai denda yang dibebankan dianggapnya terlalu besar dan tidak masuk akal. Ia menegaskan akan tetap teguh menjalani proses hukum tersebut. Endang juga menolak keras untuk membayar denda Rp115 juta sampai perkara ini benar-benar selesai.

“Kalau memang ada bukti kita jual tiket ya silakan. Tapi ini kan cuma kumpul keluarga. Rasanya berat sekali kalau dipaksa bayar segitu,” pungkas Endang.

Untuk diketahui, Di kawasan Asia Tenggara, nilai hak siar Liga Inggris bahkan bisa mencapai USD 60 juta atau sekitar Rp900 miliar per musim. Tak heran, pihak platform sangat ketat menegakkan aturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam undang-undang tersebut, pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 4 tahun serta denda maksimal Rp1 miliar. Aturan itu tidak hanya berlaku bagi pihak yang meraih keuntungan komersial, tetapi juga melarang penyiaran tanpa izin, termasuk melalui media sosial maupun acara nonton bareng di ruang usaha, meskipun tidak memungut tiket resmi.

Pihak platform penyedia layanan menegaskan bahwa siaran Liga Inggris bersifat eksklusif dan hanya boleh dinikmati secara pribadi di rumah bagi pelanggan berbayar dengan sistem langganan. Apabila digunakan di tempat usaha atau ruang komersial, diperlukan izin khusus berupa lisensi sesuai ketentuan platform.

Untuk mendapatkannya, pelaku usaha diwajibkan mengisi formulir pendaftaran serta mengajukan proposal permohonan lisensi. Proposal tersebut kemudian ditinjau dan disetujui dengan biaya yang bervariasi, tergantung pada jenis usaha.

Besaran biaya aktivasi lisensi berkisar Rp34 hingga Rp40 juta lebih, menyesuaikan kategori tempat usaha pemohon. Dengan memiliki lisensi resmi, pelaku usaha dapat terhindar dari sanksi hukum dan somasi, sekaligus berkesempatan menjadi lokasi resmi penayangan yang mampu menarik lebih banyak pengunjung berkat kualitas siaran HD.

Kuasa Hukum

Kuasa Hukum Indonesia Entertainment Group (IEG), Ebenezer Ginting, menjelaskan duduk perkara yang menjerat Endang.

“Klien kami adalah pemegang lisensi eksklusif Liga Inggris. Artinya masyarakat boleh menikmati di rumah secara privat. Tapi kalau dipakai sebagai ikon usaha, seperti nonton bareng atau diputar di zona komersial, itu melanggar. Ada lisensi khusus yang harus dibayarkan,” kata Ebenezer saat ditemui, dikutip dari Tribunnews.

Ebenezer yang tergabung dalam Ginting & Associates Law Offive itu menambahkan, pelanggaran hak cipta tidak bergantung pada ada atau tidaknya keuntungan dari penjualan tiket.

“Terlepas ada ticketing atau tidak, selama memutar Liga Inggris di zona komersial, unsur sengaja maupun tidak, itu sudah melanggar undang-undang,” tegasnya.

Berdasarkan catatan IEG, ada sekitar 80-100 laporan polisi terkait pelanggaran hak siar di berbagai wilayah Indonesia. Khusus di Jawa Tengah, tercatat 10 temuan kasus, dengan 5 di antaranya masih aktif diproses hukum.

Ebenezer menekankan, aturan ini berlaku untuk semua kalangan. Baik pelaku UMKM, usaha menengah, hingga kafe dan bar bisa dikenai sanksi jika terbukti melanggar.

“Pelaku usahanya macam-macam, ada UMKM, ada juga menengah ke atas. Kopi shop, bar, dan lainnya. Jadi bukan hanya usaha kecil yang kena. Semua lapisan bisa,” jelas Ebenezer.

Meski begitu, IEG tetap mengutamakan pendekatan edukasi dan sosialisasi mengenai regulasi hak siar. Namun, jika pelanggaran terus berulang, jalur hukum tetap ditempuh.

“Semangat kami bukan hanya penindakan, tapi juga anti pembajakan. Kalau tidak ada yang membeli lisensi, masyarakat Indonesia bisa-bisa tidak bisa lagi menonton Liga Inggris,” ujarnya.

“Ini jadi pembelajaran bahwa ada value bisnis di balik hak siar yang harus dihargai,” tukas Ebenezer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *