EKONOMI PANCASILA MENJAWAB BRICS

OPINI1702 Views

BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa) bikin ilusi keadilan global. Mengapa ilusi bahkan “tipu muslihat”? Sebab basisnya tetap “kekayaan negara” bukan “suara negara.” Ya. Wacana reformasi tata ekonomi dunia kembali mengemuka seiring dengan konsolidasi negara-negara BRICS. Mereka mengklaim ingin membangun tatanan ekonomi global yang lebih adil dan setara dibanding dominasi negara Barat selama ini.

Tentu, wacana ini harus dicermati karena perubahan aktor belum tentu berarti perubahan sistem. Ketika Indonesia memutuskan untuk menyatu ke dalam blok ini maka secara langsung maupun tidak, arah kebijakan ekonomi nasional masuk dalam arus besar globalisme yang dikendalikan oleh negara-negara berkekuatan modal tinggi, SDM canggih, iptek terdepan, pasukan terprogram dan skema hubungan multilateral yang solid.

Di sini duduk persoalannya. Ekonomi Pancasila pada dasarnya merupakan sistem ekonomi yang berakar pada nilai nilai luhur bangsa yang menempatkan manusia dan semesta (bukan pasar) sebagai pusat pembangunan. Dalam kerangka ini ekonomi bukan sekadar alat akumulasi modal melainkan sarana untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran bersama serta kesentosaan menyeluruh. Sistem ini menolak dikotomi antara kapitalisme pasar bebas dan sosialisme negara karena mengusung jalan ketiga yang berkepribadian nasional dan berbasis gotong royong. Ia mengutamakan keseimbangan antara kepentingan individu, komunitas dan negara dalam satu kesatuan kebijakan.

Masuknya Indonesia ke dalam BRICS mengindikasikan pergeseran orientasi dari ekonomi berbasis kedaulatan menjadi ekonomi berbasis jaringan kuasa internasional. BRICS memang menawarkan gagasan reformasi lembaga global seperti IMF dan Bank Dunia namun tetap dalam kerangka pasar dunia. Reformasi yang ditawarkan bukan pembongkaran sistem tetapi hanya penyesuaian kuota dan suara agar negara berkembang mendapat porsi lebih besar. Namun porsi yang dimaksud tetap diukur berdasarkan kekuatan ekonomi dan bukan prinsip keadilan distributif. Partisipasinya semu; pergulatannya prosedural dan birokratis-politis.

Padahal, konsepsi ekonomi Pancasila tidak melihat pembangunan sebagai fungsi pertumbuhan semata tetapi sebagai proses pembebasan manusia dari struktur ketimpangan dan ketergantungan. Kesejahteraan bukan ditentukan oleh investasi asing atau akumulasi devisa, melainkan oleh kemampuan warga-negara mengakses sumber daya produktif secara berdaulat, dan tentu saja perlindungan, pendampingan serta pemajuan oleh negara. Maka, keberpihakan negara terhadap koperasi, UMKM, BUMN dan usaha rakyat bukan retorika tetapi prinsip ideologis yang wajib dijalankan secara konsisten dan terstruktur sampai makmur.

Di sisi lain struktur ekonomi BRICS justru memperkuat kembali dominasi kekuatan besar terutama China dan India yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Indonesia dalam forum tersebut lebih sebagai pengikut bukan penentu, apalagi pemimpin. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi Pancasila yang mendorong kemandirian dan kebijakan berbasis kepentingan nasional. Partisipasi dalam skema BRICS yang berorientasi pada pinjaman multilateral dan integrasi perdagangan bebas justru mengancam otonomi kebijakan fiskal dan moneter nasional.

Perlu ditegaskan bahwa ekonomi Pancasila bukan sistem tertutup atau anti kerja sama. Ia mendukung keterlibatan aktif dalam tatanan dunia namun dengan syarat kerja sama tersebut tidak melanggar kedaulatan dan tidak menempatkan Indonesia sebagai pasar belaka. Dalam sistem ini kerja sama ekonomi harus dilandaskan pada prinsip saling menguntungkan bukan dominasi pihak tertentu. Oleh karena itu orientasi kerja sama internasional harus dikendalikan penuh oleh negara agar tetap sejalan dengan cita-cita nasional. Terlebih, sejarah Indonesia pada awalnya adalah sejarah kepemimpinan dunia.

Langkah Indonesia bergabung ke BRICS harus dibaca sebagai keputusan politik ekonomi yang berisiko tinggi. Tanpa kesadaran ideologis dan komitmen konstitusional, Indonesia bisa terjebak menjadi pengikut dalam sistem global yang belum tentu berpihak kepada warga-negaranya. Sejarah sudah membuktikan hal tersebut. Di forum-forum dunia, kita tidak terlalu didengarkan.

Ekonomi Pancasila menuntut keberanian negara untuk menolak skema ekonomi global yang bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan penguasaan sumber daya apapun dan atas cabang produksi strategis. Kompromi terhadap prinsip ini hanya akan melanggengkan ketimpangan struktural, menghasilkan kemiskinan, menghidupi keculasan.

Sudah terlalu lama bangsa ini terseret dalam arah pembangunan yang tidak berpihak kepada kepentingan warga-negara keseluruhan. BRICS yang menjanjikan tatanan baru pada kenyataannya tetap menjadikan kekuatan modal sebagai ukuran utama. Sementara itu, ekonomi Pancasila menempatkan manusia dan lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam kebijakan ekonomi.

Maka yang dibutuhkan bukan hanya keberanian politik tetapi juga pemihakan ideologis agar negara ini tidak terus menjadi objek dalam pertarungan kekuatan global. Menjadi “leader” bukan follower. Menakdirkan menjadi pemimpin-pejuang, bukan pemimpin-pemimpi saja.

Jelasnya, ekonomi-politik Pancasila bukan utopia masa lalu dan cerita romantika tetapi jalan strategis untuk keluar dari jebakan dominasi global yang berubah rupa. Di tengah ilusi keadilan global yang dikampanyekan oleh BRICS, Indonesia harus kembali menegaskan arah pembangunan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Ini bukan hanya pilihan idealistis tetapi kebutuhan realistis untuk memastikan bahwa kedaulatan ipoleksusbudhankam berdiri di atas fondasi kedaulatan ekonomi yang mandiri, modern, martabatif, adil dan berkelanjutan.

Kemandirian ekonomi nasional, pengarus-utamaan kepentingan nasional, keharusan menjadi produsen iptek yang dahsyat, penguasaaan perekonomian dunia dan menertibkan semesta adalah lima cita-cita kita bersama (panca dharma) dalam bernegara. Dengan begitu, Pancasila bukan sekedar sila-sila yang harus dihafalkan, tetapi juga merupakan payung besar ekopol, kebudayaan dan sumber peradaban bagi bangsa Indonesia dan dunia.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *