Di Atas Bendera Konstitusi Baru

OPINI1495 Views

Atas nama reformasi, konstitusi diganti; partai dan oligarki jadi alat monopoli; kesenjangan makin menjadi-jadi; KKN mentradisi. 22 tahun sudah bangsa ini mengayuh gelombang pasar bebas. Hasilnya, eksperimentasi hukum tata negara ala hibridasi timur-barat terus menemukan korbannya. Ujungnya jelas: kemanusiaan kita menjadi anti keadilan sosial. Kemerdekaan dan kedaulatan kita milik penguasa dan orang kaya.

Apa yang terjadi dengan realisasi dari konstitusi baru? Sungguh, guruku Hatta Taliwang (2021) berkata lirih sambil mengusap air mata, “Kasihan sebuah bangsa yang bahagianya hanya saat pilpresung dan pilkadalsung. Kasihan sebilah rakyat yang bisa teriak hanya saat kampanye. Kasihan aktifis yang bisa makan hanya saat jadi team sukses. Sungguh kasihan negara kita.”

Ya. 22 tahun berlakunya konstitusi palsu berakibat di sekitar kita banjir “orang mengeluh” bukan banjir karya yang memesona penuh peluh. Tentu, ini tanda-tanda serius dari kemunduran peradaban, menuju komunitas sampah.

Menurut Ryo Disastro (2024) dalam risetnya bertema demokrasi liberal di Indonesia, ada yang menggiriskan dalam jejak demokrasi kita. Dalam riset itu, hasilnya lima. 1)Ia alat asimetric war; 2)Ia tak menghasilkan kesejahteraan umum; 3)Ia tak menghadirkan keadilan sosial; 4)Ia memabukkan dan menghasilkan kaum fanatik, fundamentalis, bujers; 5)Ia mengkhianati pancasila dan konstitusi asli warisan para pendiri republik.

Di sini, jelas sekali bahwa konstitusi baru (UUD2002) tidak dirancang untuk kemaslahatan bersama; tidak diniatkan untuk keadilan dan kesentosaan semua warganegara. Konstitusi baru itu dibuat oleh segelintir manusia jahat; yang berniat menipu; serta muslihat sejak dari pikiran. Akhirnya tidak menciptakan revolusi pancasila. Tetapi menternak oligarki dan monarkhi keluarga busuk, plus antek beludak.

Solusinya segera balik ke konstitusi asli (lalu adendum) agar tidak khianat serta jadi keparat terlaknat. Dan, jika pengkhianatan jadi tradisi maka bisu Indonesia itu tragedi di alam pikir rakyatnya. Tulinya itu trauma di semua kisah rakyatnya. Butanya itu sekarat menjelang mati rakyatnya. Wafatnya itu wafatnya alam semesta. Sakitnya itu sakit jiwa raga jagad ini. Padahal, rakyat tanpa cinta Indonesia bagai butiran debu. Menggigil tak bertemu orgasme bertalu-talu.

Bagi jurnalis Tony Hasyim (2024), “Kondisi mutakhir di atas terjadi karena mayoritas manusia butuh ruang untuk bisa melarikan diri dari kenyataan. Manusia yang tidak kecanduan alkohol dan narkoba harus dieskploitasi dalam pesta demokrasi liberal begundal supaya tetap merasa eksis sebagai manusia.

Makanya jangan heran banyak yang  berpikir meloncat-loncat seolah kemenangan di pilkada sebagai people strategic victory. Padahal, mayoriras manusia Indonesia sudah dijadikan katak dalam sumur. Fisik dan pikirannya dibikin meloncat ke sana ke mari. Tapi realitasnya jiwa raganya ada di dalam sumur.”

Apa solusinya? Dua hal. Pertama, “purifikasi konstitusi.” Purifikasi adalah proses pemurnian atau balik arah (ruju) yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan terbaru menjadi lebih baik lewat refleksi dan proyeksi.

Kedua, “merealisasikan pendidikan revolusi pancasila.” Tidak ada metoda paling tepat untuk menghabisi penjajahan modern (menikam tepat di jantungnya) kecuali pendidikan revolusi pancasila. Ialah ontologi untuk melepaskan negara-bangsa Indonesia dari keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, kesakitan, ketidakadilan, kemasgulan, kelimboan dan belenggu ketimpangan akut di semua dimensi ruang dan waktu.

Ya. Pendidikan dan pengajaran revolusi pancasila itu mendorong kita untuk belajar dari Timur dan Barat tapi haram memamah mentah, apalagi mempraktikannya secara salah kaprah di Indonesia (seperti praktik konstitusi palsu/UUD2002 itu). Terlebih, pendidikan revolusi pancasila itu mencetak warganegara jadi pembelajar yang jenius dan hibrida dari modal, model, modul di seluruh semesta.

Kita sudah seharusnya berjiwa, berkarakter dan bermental Pancasila. Kitalah satria dan patriot bangsa yang wajib menjaga kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Berwawasan semesta dan bermental baja. Mendedikasikan hidup untuk selalu siap sedia dipimpin dan memimpin dengan hikmat kebijaksanaan di masa apapun dan di manapun.

Kini dengan jiwa, karakter dan mental pancasila, ada baiknya kita tulis lagi 5 hal besar untuk menyelamatkan NKRI: (1)Bagaimana memenangkan perang asimetrik; (2)Bagaimana mengembalikan UUD 45 asli untuk kemudian di adendum; (3)Bagaimana membangun etika berpolitik yang terintegrasi agar muncul pemimpin berintegritas dan berkarakter kebangsaan; (4)Bagaimana membuat sistem ekonomi yang mampu membatasi kerakusan manusia; (5)Bagaimana keluar dari zaman kalasuba bin jahiliyah bersama.

Jika kita mampu merumuskan 5 hal di atas dan menjadikan konsensus bersama, sudah pasti nasib Indonesia membaik. Tentu janji proklamasi terpenuhi, cita-cita kemerdekaan tertunaikan. Semoga.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *