AUTENTIKWOMAN.Com-Dunia di Ambang Perang, Momentum Ledakan Transformasional – Menuju Indonesia Merdeka dan Berdaulat Ekonomi dari Cengkeraman Skema Bretton Woods, Revolusi Tanpa Utang.
Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia, H. Prabowo Subianto.
Saya menulis surat ini bukan sekadar sebagai pengingat sejarah. Tetapi, sebagai seruan darurat dari rakyat yang selama ini menjadi korban dari sistem yang tidak pernah kami pilih: sistem utang dan intervensi asing yang justru dilanggengkan atas nama pembangunan.
Akar krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia hari ini sejatinya adalah ekses destruktif dari sejarah panjang debt colonialism dan jebakan utang (debt trap), serta perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat negara ini sejak awal berdirinya Republik.
Pada 1944, di puncak Perang Dunia II, para delegasi sekutu berkumpul di sebuah Hotel Mount Washington di wilayah pegunungan yang sejuk dan steril dari kehancuran, di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat. Di sinilah lahir Konferensi Bretton Woods, yang menandai deklarasi simbolik tentang siapa yang akan mengendalikan dunia pasca-perang. Dari konferensi inilah lahir dua raksasa keuangan global: IMF dan IBRD (cikal bakal Bank Dunia).
Di balik janji “stabilitas” dan “pembangunan”, tertanam skema utang neokolonial yang menjerat negara-negara Global South yang kaya akan sumber daya alam—seperti Indonesia—untuk dieksploitasi sebagai pelumas utama industrialisasi negara-negara Barat. Mereka dieksploitasi untuk menjaga stabilitas status quo kapitalisme global.
Setahun kemudian, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Peristiwa mengobarkan harapan untuk bebas dari cengkeraman penjajah. Namun warisan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 justru menyisakan utang kolonial Belanda dan krisis fiskal yang menghantui negara muda ini.
Pada 15 April 1954, Indonesia menandatangani keanggotaan di IMF dan Bank Dunia seturut ekses dari bagian syarat di perjanjian KMB meskipun ditampilkan alasan normatif untuk kebutuhan pembiayaan pembangunan. Setahun kemudian, Presiden Soekarno mencoba menyeimbangkan kekuatan global dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955.
Pada 1956, ia membatalkan sepihak perjanjian KMB dan membentuk poros Jakarta–Peking–Pyongyang–Moskow sebagai poros perlawanan terhadap supremasi Barat.
Puncaknya, pada 1965—tepat 20 tahun kemerdekaan Indonesia—Soekarno mengumumkan keluar dari IMF dan Bank Dunia, sebagai bentuk protes terhadap dominasi AS dan neokolonialisme-neoimperialisme. Namun perlawanan itu dibayar mahal: kudeta, pembunuhan massal, dan lahirnya rezim Orde Baru yang mengukuhkan realignment geopolitic Indonesia kembali ke pelukan Barat.
Akibat “kekalahan perang” yang dikobarkan Soekarno melawan Barat seturut di dalam negeri terjadi hiperinflasi dan resesi hebat, pergantian rezim dari orde lama ke orde baru, Indonesia resmi kembali bergabung dengan IMF pada 21 Febuari 1967 dan dengan Bank Dunia 13 April 1967.
November tahun yang sama 1967, diselenggarakan “Indonesia Investment Conference” di Hotel Intercontinental, Jenewa, Swiss—titik awal penyerahan kedaulatan ekonomi dan pengendalian Indonesia ke tangan asing. Ekonom nasionalis Kwik Kian Gie menyebut peristiwa ini sebagai “proses terjajahnya kembali Indonesia.”
Presiden AS Richard Nixon menulis dalam artikel “Asia After Vietnam” (Foreign Affairs, Oktober 1967): “Indonesia constitutes by far the greatest prize in the Southeast Asia area.” Ini ungkapan yang menegaskan nilai strategis dan ekonomi Indonesia yang sangat besar bagi Amerika dan sekutunya.
Lalu dibentuklah IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) sebagai wadah konsorsium donor yang diketuai Belanda dan didukung AS, Canada, Eropa, Australia dan negara donor lainnya serta yang terpenting IMF dan World Bank sebagai perwakilan lembaga multilateral.
IGGI kemudian bermutasi menjadi CGI peralihan koordinasi dari Belanda menjadi otoritas koordinasi Bank Dunia. Sejak itu, IMF dan Bank Dunia menjadi kekuatan yang sangat hegemonik dalam mengatur ruang fiskal dan moneter Indonesia.
Mereka bukan penjajah berseragam, tapi hadir sebagai penasehat bersutera yang membawa dokumen, bukan senjata. Mereka masuk ke setiap nadi kebijakan negara berkembang, menentukan nasib rakyat melalui tabel-tabel makroekonomi.
Inilah Yakjuj dan Makjuj era modern: datang bukan untuk membangun, tapi untuk menghisap.
Mereka menawarkan “stabilitas” sambil mencabut subsidi rakyat. Mereka menjanjikan “pertumbuhan” sambil memaksa deregulasi, privatisasi dan liberalisasi perdagangan. Mereka memakan segalanya: lahan petani, tanah adat, dana pendidikan, hingga harapan generasi muda, anak-anak negeri ini tumbuh dalam jeratan utang yang bukan mereka perbuat.
Mereka adalah bencana yang datang atas nama “bantuan.” Di masa lampau, Yakjuj dan Makjuj digambarkan sebagai dua kaum yang melahap segala, merusak bumi, dan tak bisa dihentikan—hingga akhirnya dibendung oleh tembok raksasa yang kokoh. Tembok apa itu? Tembok keadilan.
Hari ini, mereka bukan lagi mahluk mitologis. Mereka bernama IMF dan Bank Dunia. Mereka datang bukan dengan pedang, tapi dengan MoU, bukan dengan pasukan, tapi dengan reformasi struktural berupa deregulasi, privatisasi dan liberalisasi perdagangan.
Mereka tidak merampok dengan senjata, tapi dengan utang dan bunga.
Namun seperti dalam kisah, Yakjuj dan Makjuj pernah dibendung. Kini tembok itu harus dibangun kembali: oleh rakyat yang sadar, bangkit, bersatu dan melawan untuk sepenuhnya Merdeka.
Ya. Merdeka dari utang adalah perlawanan suci zaman ini. Melawan secara terstruktur, sistemik dan massif IMF–Bank Dunia adalah jalan menyelamatkan bumi dan generasi Indonesia, menyongsong visi Indonesia Emas 2045.
Bapak Presiden,
Sejarah memberi kita pilihan: tunduk pada pusaran utang dan dominasi global, atau berdiri tegak sebagai bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.
Kami tidak menuntut hal yang mustahil. Kami hanya meminta Bapak mengembalikan mandat kemerdekaan ke tangan rakyat.
Hormat kami,
Ridho Rizkia Putra
Peneliti di Nusantara Centre