AUTENTIKWOMAN.Com– Delapan dekade merdeka hingga kini masih menjadi pertanyaan mendasar, Di mana kemerdekaan dan kedaulatan ekonomi kita? Pertanyaan inilah yang menjadi inti diskusi publik dan konferensi pers bertajuk “RUU Perekonomian Nasional: 80 Tahun Indonesia Merdeka, Di Mana Kemerdekaan dan Kedaulatan Ekonomi?” yang akan digelar pada 30 Agustus 2025, di Cafe Toffe 2 No. 348, Pondok Cina, Beji, Margonda, Depok.
Acara yang akan berlangsung pada Sabtu sore ini menghadirkan pandangan tajam dan reflektif terhadap arah pembangunan ekonomi nasional. Di balik diskusi ini, mengemuka kembali nama Sritua Arief (1938–2002), seorang ekonom strukturalis dan pancasilais yang gagasannya relevan hingga kini.
Sritua Arief, doktor ekonomi lulusan Hull University, Inggris, adalah akademisi yang mengajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan Malaysia. Sebagai guru besar luar biasa (profesor emeritus) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), ia dikenal lantang menggugat kebijakan pembangunan yang dinilainya anti-Pancasila dan hanya melanggengkan ketergantungan serta keterbelakangan.
Buku yang mengangkat namanya ke panggung nasional, Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan (1981), ditulis bersama Adi Sasono. Dalam karya itu, ia memperkenalkan konsep kemiskinan struktural-kemiskinan yang lahir bukan karena kemalasan rakyat, tetapi karena kebijakan negara yang keliru. Pemikirannya banyak dipengaruhi teori ketergantungan Andre Gunder Frank.
Gagasan Besar
Sritua Arief konsisten mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi-politik harus berbasis warga negara, bukan sekadar angka pertumbuhan. Partisipasi masyarakat lokal menjadi kunci, dan keadilan sosial menjadi ukuran keberhasilan.
Menurutnya, Ekonomi Kerakyatan mengutamakan kesejahteraan dan martabat warga negara, khususnya kelompok miskin, rentan, pinggiran, dan difabel.
Kata dia, Keadilan Distribusi Pendapatan merupakan pembangunan tanpa distribusi yang adil hanyalah ilusi.
Sementara, Kemandirian dan Kedaulatan Ekonomi, mengurangi ketergantungan pada pihak luar dengan menguatkan potensi domestik.
Dia berpendapat, Pengembangan SDM Berpancasila adalah Sumber daya manusia bukan sekadar produktif, tetapi juga berkarakter dan berwawasan konstitusi.
Harapan atau Ujian Baru
Diskusi publik di Depok ini memantik kembali gagasan bahwa perekonomian Indonesia bukan semata soal investasi asing dan angka PDB, tetapi soal bagaimana negara hadir sebagai pelindung dan pemberdaya rakyatnya.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Apakah RUU Perekonomian Nasional akan menjadi pijakan menuju kedaulatan ekonomi, atau sekadar pasal-pasal yang membius publik dengan janji kosong?
Warisan pemikiran Sritua Arief mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya berhenti pada pengusiran penjajah, melainkan terwujud ketika rakyat berdaulat atas tanah, air, dan sumber daya mereka.
Dalam esensi Pancasila, negara dan pejabat publik adalah “panitia kesejahteraan rakyat.” Tanpa keberpihakan yang nyata, pembangunan hanyalah jargon, dan kemerdekaan hanyalah simbol.
Diskusi ini menjadi pengingat, bahwa kemerdekaan ekonomi bukan hadiah, melainkan perjuangan panjang yang harus terus diperbarui setiap generasi.
Ekonomi-politik Pancasila adalah saat semua memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi warga-negara sampai sejahtera, sentosa dan adil dalam semua kehidupannya (Mohammad Hatta/1943).
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: Setiyowibowo (+62 821-3892-9452)