Ribuan Warga dari Lansia Hingga Ibu Hamil Mengungsi ke Hutan, Ada Apa Militer Masuk ke Papua?

Saat ini mereka berada di hutan belantara, mengalami kelaparan, dan bayi-bayi mengalami kekurangan gizi. Mereka sama sekali tidak memiliki harapan hidup.

News8502 Views

AUTENTIKWOMAN.Com– Sebanyak 3.318 warga sipil di Distrik Oksob, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan dilaporkan mengungsi ke hutan.

Informasi tersebut disampaikan Ketua Departemen Hukum dan HAM Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), Pdt Jimmy Koirewoa.

Dilansir Kompas.com, di Jayapura pada Selasa, 10 Desember 2024, dikatakan Jimmy bahwa pengungsian ditengarai masuknya penebalan militer di wilayah Papua Pegunungan.

Kata dia, sejak 28 November-9 Desember 2024 terjadi pergeseran pasukan militer dalam jumlah besar ke Kabupaten Pegunungan Bintang.

Bahkan termasuk ke distrik-distrik tempat warga masyarakat berada. Kemudian pada 8 Desember, pasukan yang cukup besar memasuki Distrik Oksob dan menduduki kampung-kampung di wilayah tersebut.

Selain itu, pada 9 Desember, helikopter juga terlihat menempati Gereja GIDI Efesus Sape di Kampung Mimit.

“Hal ini menyebabkan pengungsian warga sipil dalam jumlah yang sangat masif. Jumlah pengungsi ada sekitar 3.000 lebih.”

“Mereka adalah warga jemaat kami yang terpaksa mengungsi karena ketakutan dan lari ke hutan untuk melindungi diri mereka,” sebut Jimmy.

Dari total 3.318 pengungsi tersebut, terdapat 54 balita, 23 lansia, lima ibu hamil, dan dua pasien dengan kondisi penyakit berat.

“Saat ini mereka berada di hutan belantara, mengalami kelaparan, dan bayi-bayi mengalami kekurangan gizi. Mereka sama sekali tidak memiliki harapan hidup,” tuturnya.

PAKAIAN BARU – Anggota Satgas Yonif 512/QY foto bersama dengan warga Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, Minggu, 1 Desember 2024. Petugas membagikan baju kepada warga dalam rangka menyambut natal 2024. (Foto: Istimewa)

Ribuan pengungsi ini berasal dari Kampung Oketumi, Mimin, Alutbakon, Atenar, dan Kampung Bumbakwon di Distrik Oksob.

“Di saat umat Kristen di tanah Papua sedang merayakan Natal, ada umat kami yang terpaksa berada di hutan,” ujar Jimmy.

Atas nama Gereja GIDI, Jimmy meminta kepada Presiden, Panglima TNI, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Pangdam XVII/Cenderawasih, dan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III untuk segera menarik pasukan militer dari Distrik Oksob.

“Kami mohon agar pasukan militer ditarik kembali, karena warga kami harus kembali ke kampung dan gereja untuk merayakan Natal,” pinta dia.

Sementara itu, Kepala Penerangan Komando Daerah XVII/Cenderawasih, Letnan Kolonel Candra Kurniawan, saat dikonfirmasi Kompas.com, mengaku akan mengonfirmasi kejadian ini di lapangan.

“Kami konfirmasi di lapangan,” ucap dia melalui pesan singkat.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, juga mengungkapkan keprihatinannya terkait pengungsian warga ke hutan di Distrik Oksob.

Frits menyayangkan adanya pergeseran pasukan di wilayah tersebut yang menyebabkan masyarakat merasa ketakutan.

“Kami sangat prihatin mengenai situasi ini, karena warga sipil harus mengungsi ke hutan,” ujarnya.

Frits berharap aparat keamanan dapat menahan diri dan tidak melakukan pergeseran pasukan di Distrik Oksob, karena hal tersebut dapat membuat masyarakat sipil merasa takut dan trauma.

“Kami berharap aparat keamanan harus menahan diri, tidak melakukan penyisiran yang justru membuat masyarakat sipil merasakan ketakutan yang berlebihan,” katanya.

Hingga berita ini diunggah, Kompas.com masih berupaya mendapat penjelasan mengenai hal ini dari Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang, Spey Bidana.

Namun belum ada respons yang diterima dari Spey.

Sebanyak ribuan pasukan dikirimkan ke tanah Papua sepanjang tahun 2024. Angka tersebut diungkapkan Ardi Mando Adiputra selaku Direktur Imparsial.

Dia menyebutkan pasukan yang dikirim tersebut ilegal.

Ardi mengatakan itu dengan menegaskan bahwa status Daerah Operasi Militer (DOM) Papua telah dicabut.

Kata dia, DOM tersebut resmi dicabut setelah reformasi.

“Kami mencatat sepanjang tahun 2024 ini Pemerintah setidaknya telah mengirimkan 3.187 pasukan non-organik ke tanah Papua. Hal ini belum ditambah dengan jumlah pasukan yang tidak diketahui jumlah pastinya,” ujar Ardi pada Selasa, 10 Desember 2024.

“Penting diingat, pengiriman pasukan ini merupakan tindakan ilegal yang bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI,” sambungdia.

Dalam beleid itu, ditegaskan bahwa operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan setelah adanya kebijakan dan keputusan politik negara, yaitu kebijakan politik pemerintah bersama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR.

Sementara ini, selama ini tidak ada satu pun kebijakan atau keputusan politik untuk mengirimkan pasukan TNI ke Tanah Papua.

Imparsial menilai, pengiriman pasukan secara ilegal dan penebalan personel merupakan bukti nyata ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.

Memperkuat pengaruh militer di wilayah yang rentan konflik dianggap tak selaras dengan janji mengutamakan dialog dan pendekatan damai.

“Akibatnya korban terus berjatuhan karena kontak senjata selalu terjadi di pemukiman warga,” ujar Ardi.

Kontak senjata ini sedikitnya telah menewaskan 9 orang anggota TNI dan Polri serta 4 masyarakat sipil. Sejumlah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau yang disebut KKB Papua dan warga setempat juga luka-luka.

Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat ‘ketakutan’. (Foto: Istimewa).

Imparsial juga menyoroti potensi konflik di Papua yang semakin mengkhawatirkan akibat pemekaran wilayah dan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti program Food Estate di Merauke.

“Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di tanah Papua tidak hanya penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan,” jelas Ardi.

“Konflik antara TNI dengan masyarakat yang menimbulkan pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan sejuta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih,” lanjutnya.

Komnas HAM Perwakilan Papua mencatat 85 kasus kekerasan yang terjadi di Papua dari 1 Januari hingga 9 Desember 2024.

Proyek pengembangan pangan dan energi di Merauke, Papua Selatan, dianggap serupa dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dikerjakan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010. (Foto: Istimewa).

Ketua Komnas HAM Papua, Frits B Ramandey menyampaikan itu dalam keterangan pers yang disampaikan kepada wartawan di Kantor Komnas HAM Papua, Kota Jayapura, Selasa, 10 Desember 2024.

“85 kasus ini didominasi oleh peristiwa kontak senjata dan penembakan (kontak tunggal),” kata Frits.

Dia merinci, dari total kasus tersebut, terdapat 55 kasus penembakan, 14 kasus penganiayaan, 10 kasus perusakan, dan enam kasus kerusuhan.

Frits menjelaskan, peristiwa kekerasan ini menyebabkan lebih dari satu tindakan kekerasan di Papua.

Kabupaten Puncak tercatat sebagai daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu 13 kasus, diikuti oleh Kabupaten Intan Jaya dengan 11 kasus, serta Yahukimo dan Paniai masing-masing 10 kasus.

Kabupaten Puncak Jaya mencatat sembilan kasus, Pegunungan Bintang tujuh kasus, dan Nabire lima kasus.

Sementara itu, Jayawijaya, Dogiyai, Mimika, dan Keerom masing-masing mencatat tiga kasus, Nduga dan Maybrat dua kasus, serta Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Manokwari, dan Kota Jayapura masing-masing satu kasus.

Lokasi pembukaan lahan untuk sarana dan prasarana cetak sawah. (Foto: Istimewa)

Akibat dari berbagai kasus kekerasan tersebut, Frits menyebutkan, ada 114 orang menjadi korban, terdiri dari 71 orang meninggal dan 43 orang luka-luka.

Dari jumlah tersebut, 68 orang merupakan warga sipil, dengan 40 orang meninggal dan 28 orang luka-luka.

Selain itu, 26 aparat keamanan juga menjadi korban, di mana 15 orang meninggal dan 11 orang luka-luka. Terdapat pula 19 anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menjadi korban, dengan 15 orang meninggal dan empat orang luka-luka, serta satu warga negara asing yang meninggal dunia.

Menyikapi situasi ini, Frits mewakili Komnas HAM Perwakilan Papua menyampaikan duka cita yang mendalam kepada seluruh keluarga korban yang meninggal, dan luka-luka akibat rentetan kekerasan yang terus terjadi.

Dia menekankan pentingnya perhatian dari semua pihak, terutama Pemerintah, untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mengakhiri atau meminimalisasi konflik kekerasan di Papua.

“Meminimalisir konflik kekerasan dengan pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip HAM. Inilah yang harus dilakukan ke depan,” pungkas dia.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *