Mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dibutuhkan Revolusi Pancasila secara berkelanjutan—bukan hanya gerakan sesaat atau simbol retoris, melainkan transformasi menyeluruh yang menyasar lima dimensi mendasar: mental, nalar, konstitusional, struktural, dan kultural.
Revolusi mental berarti membebaskan warga negara dari mentalitas inferior, pragmatisme sempit, dan budaya korup yang melekat akibat sistem yang timpang. Revolusi nalar mengajak bangsa ini untuk berpikir kritis, rasional, dan mandiri—bukan tunduk pada dogma kekuasaan atau hegemoni pasar global. Kedua dimensi ini menjadi landasan untuk membangun arah baru yang lebih beradab dan kolektif.
Namun, pilar transformatif tersebut tidak cukup jika tidak ditopang oleh perubahan institusional yang menyeluruh. Karena itu, Revolusi Pancasila harus menjalar ke dalam kerangka konstitusional, struktural, dan kultural. Revolusi konstitusional menuntut hukum yang berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan.
Revolusi struktural harus menghancurkan dominasi oligarki yang selama ini menghalangi mobilitas warga negara. Dan, revolusi kultural harus menghidupkan kembali nilai gotong royong, solidaritas, serta kemandirian sebagai roh peradaban. Tanpa kelima dimensi ini, Pancasila hanya akan menjadi slogan kosong yang stagnan di podium dan ruang upacara.
Langkah konkret dari sistem ekonomi Pancasila dapat dilihat dalam model kepemilikan yang dikendalikan secara adil melalui tiga agensi utama: Koperasi, BUMN, dan Swasta. Ketiganya bukan diposisikan dalam relasi saling mendominasi, tetapi membentuk ekosistem ekonomi kolaboratif yang berorientasi pada kesejahteraan.
Koperasi menjadi alat demokratisasi ekonomi, BUMN menjaga sektor strategis dan kedaulatan ekonomi, sementara sektor Swasta berperan dalam efisiensi dan inovasi. Komposisi ini menolak sistem yang hanya memihak oligarki, baik negara maupun korporasi.
Untuk itu, negara memiliki tanggung jawab mengawal agar ketiga entitas ekonomi ini beroperasi secara etis, transparan, dan berpihak pada warga-negara. Koperasi tidak boleh hanya pelengkap simbolik, melainkan pilar ekonomi kerakyatan. BUMN tidak boleh menjadi lahan rente kekuasaan, tetapi instrumen strategis nasional. Sementara swasta harus diberi ruang berkompetisi secara sehat tanpa menindas hak sosial dan ekologis warga-negara. Dalam sinergi tersebut, sistem kepemilikan menjadi alat pembebasan, bukan instrumen penindasan.
Pada akhirnya, pembentukan masyarakat Pancasilais mensyaratkan pembalikan paradigma secara total dalam arah peradaban. Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi prinsip etik sekaligus praksis untuk membebaskan bangsa ini dari dominasi sistem yang menormalisasi penindasan dan kesenjangan.
Masyarakat Pancasilais adalah masyarakat yang menolak korupsi, kolusi, nepotisme, eksploitasi alam dan tenaga, serta akumulasi kekayaan tanpa batas. Prinsip-prinsip ini bukan datang dari moralitas abstrak, tetapi dari kebutuhan nyata untuk keluar dari perangkap oligarki yang memiskinkan secara sistemik.
Lebih jauh, masyarakat Pancasilais juga harus menolak pengkotakan berbasis identitas, dogma sektarian, dan feodalisme yang menghambat keadilan. Ia harus dibangun di atas fondasi rasionalitas, spiritualitas, keberadabab, dan solidaritas sosial.
Pembangunan ipoleksosbudhankam dan institusi nasional harus diarahkan untuk menjamin hak setiap warga-negara untuk hidup bermartabat. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terpolarisasi, Pancasila harus menjadi energi peradaban baru yang mampu menyatukan, bukan sekadar menenangkan.
Untuk itu, metoda ber-Indonesia yang Pancasilais harus dimulai dari perubahan cara berpikir dan bertindak. Selama ini, keputusan politik dan kebijakan publik terlalu sering berpijak pada “rasa”—emosi dangkal, intuisi tanpa nalar, dan loyalitas buta.
Ini adalah akar dari manipulasi, populisme, dan kebodohan kolektif. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa besar, maka nalar publik harus dikembalikan. Sistem kenalaran waras semesta harus dijadikan pondasi—nalar yang berbasis data, kritis terhadap kekuasaan, dan terbuka terhadap argumentasi rasional.
Kewarasan nasional itu sendiri hanya akan terbentuk melalui proses hibridasi antara nilai luhur lokal dan sistem berpikir modern yang reflektif-proyektif. Jangan seperti kitab suci yang sering dihafal tanpa dipahami maknanya, begitu pula nilai-nilai bangsa yang dikutip tanpa penghayatan.
Darinya, kita membutuhkan pendidikan kebangsaan yang tidak hanya melahirkan penghafal sila, tetapi pembentuk nalar etis dan kritis. Inilah metoda ber-Indonesia yang waras dan Pancasilais: bukan sekadar membangun negara, tetapi membentuk peradaban yang sadar, adil, dan berakar kuat pada integritas intelektual serta kedalaman spiritual. Kini, mari kita proklamasikan kembali negara pancasila agar raya, jaya dan menyemesta.