TANCAPKAN EKONOMI PANCASILA DI BUMI PERTIWI

OPINI67 Views

Beberapa hari ini pikiranku melayang entah ke mana. Ia meninggalkan tubuhku, berkelana ke langit luas, mengikuti jejak semesta. Aku termenung, mencoba memahami apa yang mengusik batin ini. Barangkali karena terlalu lama aku tidak menulis kalimat-kalimat azimat—kata-kata berduri yang biasanya kupakai untuk menusuk tajam kaum bandul neolib yang sudah menancap dalam-dalam di tanah airku.

Aku gelisah. Apa yang harus kutulis agar paham neoliberalisme ini sirna dari kepala para ekonom kita? Ia sudah menempel kuat di pikiran, di undang-undang, dan di gelanggang perdagangan yang kini tunduk pada pasar bebas. Seandainya neoliberalisme itu seekor lalat atau tikus, mudah saja kita basmi dengan racun. Tapi ia bukan makhluk kecil—ia menjelma manusia, sistem, bahkan ideologi yang beranak-pinak di kepala bangsa ini.

Ekonomi Pancasila yang Diterkam Neoliberalisme

Paham ekonomi neolib menancap tajam, mengikis akar ekonomi Pancasila. Kita menulis untuk melawan, tapi mereka juga menyerang balik dengan teks dan kebijakan. Kadang aku ingin berteriak sekeras-kerasnya ke seluruh pelosok negeri:

“Bangunlah! Kembalilah mencintai tanah air sebagaimana dulu para pendiri bangsa memperjuangkannya !”

Masihkah kita punya nurani ketika makan enak sementara banyak yang lapar? Ketika kita tidur di kasur empuk sementara ada yang beralaskan koran di pinggir jalan, di kolong jembatan, di atas gerobak? Tuhan, beginilah wajah Indonesia hari ini. Ada yang membeli mobil mewah tanpa berkeringat sedikit pun, sementara rakyat kecil harus bertaruh nyawa demi sesuap nasi. Kadang seseorang dipenjara hanya karena mencuri sepotong roti untuk anaknya.

Apa yang salah dengan kita?

Bangsa ini dahulu bersatu karena menolak ditindas penjajah. Tapi kini, sejarah itu seperti iklan di televisi—datang sebentar, lalu lenyap tanpa makna. Kita sibuk menyelamatkan diri dan keluarga, lupa bahwa ada 280 juta jiwa yang harus ditanggung negara. Negara seolah absen meneduhkan rakyatnya. Di mana janji konstitusi yang tertulis di Pasal 33 dan 34 UUD 1945? Di mana amanat untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar?

Hatiku menyala-nyala. Aku ingin marah, tapi entah kepada siapa.

Kita Lupa Warisan Pemikiran Bangsa

Dalam kegelisahan ini aku menelusuri kembali teks-teks lama, buku-buku ekonomi kerakyatan, warisan pemikiran Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Cokroaminoto, hingga Sumitro. Namun, nama-nama besar itu kini hanya jadi catatan kaki di pelajaran sekolah. Kita tak lagi menanam benih pemikiran mereka dalam kurikulum, tak lagi mengaji gagasan hebat itu di perguruan tinggi.

Maukah kalian membangkitkan lagi semangat mereka—agar bangsa ini kembali berdiri di atas prinsip senasib sepenanggungan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing?

Bolehlah kita berinteraksi dan berjejaring dengan bangsa lain, tetapi jangan biarkan lobi-lobi neolib menumpulkan akal sehat kita. Berpikirlah cerdas dan universal, sebab bangsa ini harus diselamatkan dengan jalan yang diajarkan oleh founding fathers kita: ekonomi Pancasila.

Pisau yang Bernama Ekonomi Pancasila

Ekonomi Pancasila bukan sekadar konsep, melainkan pisau tajam yang harus menancap kokoh dalam tubuh ekonomi nasional. Seperti yang dikatakan Revrisond Baswir dan Yudhie Haryono, “Pisau Ekonomi Pancasila” adalah alat untuk:

– Memotong praktik ekonomi yang eksploitatif.

– Menembus dominasi pasar bebas yang tidak adil.

– Mengiris ketimpangan sosial dan ekonomi akibat neoliberalisme.

Pisau ini juga berfungsi sebagai:

– Alat koreksi bagi sistem yang terlalu liberal atau terlalu sentralistik.

– Penegas arah kebijakan agar berpihak pada rakyat kecil, bukan elite ekonomi.

– Simbol keberanian politik untuk menolak intervensi asing yang merugikan kedaulatan ekonomi.

 Menajamkan Pisau Itu dalam Kebijakan Nyata

Implementasi ekonomi Pancasila harus hadir dalam kebijakan yang konkret:

– Pasal 33 UUD 1945: cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

– Penguatan koperasi dan BUMN: sebagai wujud nyata ekonomi kekeluargaan.

– Hilirisasi industri nasional: agar nilai tambah dari sumber daya alam dinikmati oleh rakyat, bukan hanya investor asing.

Tantangan kita jelas: globalisasi, tekanan pasar bebas, dan dominasi oligarki ekonomi.

Namun harapan tetap ada — jika kita berani mengasah kembali “pisau ekonomi Pancasila” yang tumpul.

Ajakan untuk Bangkit

Sebagaimana kata Prof. Yudhie Haryono dalam Republik yang Menunggu, ekonomi Pancasila menuntut:

– Keberpihakan kepada rakyat kecil.

– Prinsip gotong royong dan kekeluargaan dalam setiap aktivitas ekonomi.

– Kehadiran negara secara aktif dalam mengatur dan melindungi sektor strategis.

– Koperasi dan BUMN menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Untuk meneguhkannya kembali, ekonomi Pancasila harus dibungkus dalam payung hukum: RUU Ekonomi Pancasila.

Hanya dengan itu bangsa ini bisa terbebas dari jurang kemiskinan dan keterpurukan.

Maukah kalian bergandeng tangan denganku, duduk bersama, membincangkannya lagi?

Biar kuteriakkan di telingamu: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya!

Pikiranku masih berperang, tapi kini aku tahu siapa musuhnya: ketidakadilan, ketimpangan, dan lupa akan jati diri bangsa.

Dan aku pun percaya—pisau ekonomi Pancasila masih bisa diasah, agar kembali menancap tajam di bumi pertiwi.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *