IRONI EKONOMI INDONESIA

OPINI94 Views

Kami berdua “ngungun.” Dengan tumpukan data dan hal-hal yang tak masuk akal, akhirnya berkesimpulan bahwa ekonomi kita itu hidup di antara spekulasi neoliberalisme dan gerak kemartabatan ekonomi Pancasila. Singkatnya, ekonomi kita kini berada di persimpangan jalan. Satu sisi, arus neoliberalisme terus menekan dengan logika ekonomi spekulasi yang hanya mengutamakan akumulasi kapital, pertumbuhan semu, dan ketergantungan pada modal asing. Di sisi lain, ada jalan berbeda yang diwariskan oleh konstitusi: ekonomi kemartabatan yang berlandaskan Pancasila, di mana perekonomian diarahkan untuk menjaga kehormatan bangsa dan kesejahteraan warga negara, serta keadilan-kesentosaan semesta.

Ekonomi spekulasi yang lahir dari neoliberalisme beroperasi di atas pasar keuangan global yang penuh ketidakpastian. Kapital bergerak tanpa batas, tidak peduli pada produktivitas riil, hanya mencari keuntungan cepat dari selisih kurs, bunga, dan instrumen derivatif. Akibatnya, ekonomi nasional mudah terombang-ambing oleh volatilitas eksternal. Neoliberalisme menjadikan negara sekadar penonton, sementara warga negara menanggung risiko krisis. Neoliberalisme menjadikan warga-negara jadi babu dan budak korporasi global.

Ini anehnya! Kebutuhan warga-negara miskin tentu saja tidak mungkin dipenuhi oleh neoliberalisme yang digerakkan oleh ekonom begundal yang berkhianat pada republik dan dendam dengan kemiskinannya di masa lalu. Mereka itu sekumpulan ekonom yang memilih jadi kacung, gedibal dan rentenir sehingga tidak mungkin memenuhi amanat konstitusi

Sebaliknya, ekonomi kemartabatan yang berpijak pada Pancasila menempatkan manusia-alam-Tuhan sebagai hubungan resiprokal setara. Di sini, martabat warga negara dihormati dengan memastikan akses adil terhadap sumber daya, produksi ditopang oleh kekayaan riil, dan keuntungan ekonomi diarahkan untuk kesejahteraan bersama. Prinsip gotong royong dan kehikmatan menjadi panduan, bukan logika persaingan bebas yang hanya melahirkan kesenjangan.

Ironisnya, ekonomi spekulasi justru dianggap normal dan wajar oleh banyak kalangan. Fluktuasi kurs, permainan suku bunga, hingga aksi keluar-masuk modal asing diperlakukan seolah hukum alam yang tak bisa ditentang. Sebaliknya, ketika ekonomi Pancasila yang menjunjung martabat, kesentosaan, dan kedaulatan warga negara ditawarkan, ia sering dianggap kenaifan atau romantisme ideologis. Padahal, yang naif justru membiarkan bangsa besar ini terus bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir elit global.

Untuk mengembalikan arah pembangunan ke ekonomi kemartabatan, dibutuhkan pendekatan grassroot development yang konkret. Minimal ada tujuh prinsip yang harus dikerjakan secara serempak. Prinsip-prinsip itu adalah:

Yang pertama adalah partisipasi seluruh warga negara (semesta). Di sini, semua pembangunan dirancang dan dievaluasi bersama komunitas, bukan dipaksakan dari atas. Prinsip kedua adalah pemberdayaan. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas lokal agar komunitas mampu mandiri, tidak selalu bergantung pada elit politik atau modal asing. Prinsip ketiga adalah kontekstual dan lokalitas. Di sini, solusi disusun sesuai kebutuhan serta potensi khas wilayah, bukan mengimpor kebijakan seragam dari luar.

Prinsip keempat adalah keberlanjutan. Artinya pembangunan harus membangun fondasi jangka panjang, bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan sesaat. Dari sini lahir kemandirian ekonomi dengan menguatkan UMKM, Koperasi, ekonomi pertanian-perkebunan-nelayan warga negara, dan usaha komunitas. Prinsip kelima, akuntabilitas sosial. Di sini, program hadir untuk memastikan pemimpin bertanggung jawab kepada warga negara, bukan semata pada investor (pemodal rakus).

Prinsip keenam, gotong royong antarwilayah sehingga memperkuat solidaritas horizontal. Di sini, komunitas bebas bekerja dan tidak selalu bergantung pada relasi vertikal yang rawan kepentingan. Terakhir, prinsip ketujuh, ekonomi kemartabatan berpegang pada anti-eksploitasi dan anti-hegemoni, menolak dominasi korporasi besar dan oligarki yang hanya memperbesar ketidakadilan. Ekonom dan ekonomi berdaulat adalah kunci.

Dengan tujuh prinsip tersebut dan kondisi ekopol yang masih rentan, kita punya pekerjaan rumah besar dan menantang: menciptakan sistem ekopol yang memfokuskan hubungan demokratis dan mengatur konfigurasi kuasa: relasi kekayaan, relasi pengetahuan, relasi kebudayaan, dan relasi keagamaan. Singkatnya: bikin dan hadirkan sistem sendiri yang asli Indonesia. Tentu tidak mudah. Terlebih kata “asli” telah dihapus dari konstitusi.

Karenanya, ingatlah. Keserakahan tidak pernah mati—ia menelan semuanya! Itulah ontologi neoliberalisme. Padahal, neoliberalisme itu jalan sunyi dari kehikmatan. Ia menuntun jiwa letih dan kalah menuju lautan kekalahan berikutnya tanpa ujung. Mereka adalah pendendam terbaik. Hidup dalam satu pencopetan, satu permalingan. Dendam yang menuntun jiwa sakit mereka menuju lautan kebencian; perih paria yang tak tersembuhkan karena dijejer tanpa diobati. Senyum mereka yang dipaksakan karena takut pada keentahan. Mereka hanya bangga jadi penjaga konglomerat lokal, oligark nasional dan elite global.

Pilihannya ada di tangan bangsa ini. Apakah Indonesia akan terus terjebak dalam neoliberalisme yang menjadikan ekonomi sekadar arena spekulasi, atau berani kembali ke ekonomi Pancasila yang menjunjung martabat, kesentosaan, dan kedaulatan warga negara? Ekonomi spekulasi hanya menjanjikan pertumbuhan angka, sementara ekonomi kemartabatan menjanjikan masa depan berkeadilan. Jalan Pancasila memang lebih terjal, tetapi hanya dengan itulah Indonesia dapat berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat. Mari bakar semua pikiran dan legislasi buatan mereka.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *