Aku terlibat. Dan, surprise. Program yang sangat interesting, sampai terbawa tidur. Dengan merenung terus, akhirnya muncul beberapa pemikiran yang ingin dibagi. Sesuatu yang lama, laten dan bergema di dada.
Menurutku, Indonesia harus menegaskan kembali kehadiran sistem ekonomi Pancasila (SEP) bersamaan dengan sistem politik Pancasila (SPP). Sepaket dan sejalan. Tak bisa sendiri-sendiri
Hal tersebut kerena keduanya merupakan bagian integral dari Sistem Demokrasi Pancasila. Yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial menuju sentosa buat semua.
Tentu saja, baik SEP maupun SPP memiliki ciri-ciri pokok dan ciri-ciri umum masing-masing yang khas dan membedakannya dari negara lain.
Di sini, undang-undang perekonomian harus mensiasati, dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia (kesejahteraan umum) yang dihadapkan dengan ketersediaan sumber daya yang terbatas.
Selanjutnya, aku berhipotesa bahwa undang-undang sistem ekopol nasional harus singkat dan supel, yaitu hanya memuat aturan pokok saja namun tidak tumpang tindih sehingga mudah diakses oleh kementerian/lembaga teknis lainnya. Terlebih, undang-undang ini tempat merujuk dan menjadi payung bagi peraturan di bawahnya.
Oleh karena itu isinya harus memuat, sistem perekonomian yang dianut oleh Indonesia dan harus berdasarkan Pancasila. Maka, undang-undang ini harus berorientasi pada etis dan moral yang memuat aturan tentang hubungan para penyelenggara negara dan pelaku ekonomi dalam menjalankan tugasnya.
Mereka diwajibkan memiliki dan memelihara budi pekerti yang luhur dan berpegang teguh pada cita-cita luhur bangsa Indonesia. Intinya ada pada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945.
Tentu saja, undang-undang ini harus mengatur pula tentang kemitraan dan koordinasi lintas daerah dan lintas sektor. Semua bertujuan agar tidak terjadi kesenjangan antara daerah surplus dan daerah minus. Begitu pula sektor jasa atau industri lebih maju atau sektor pertanian dan bahkan sektor nelayan.
Undang-undang ini harus mengatur dan menetapkan pengaturan bagi para pelaku ekonomi (trias ekonomika), tentang peran pelaku ekonomi secara selaras dan seimbang sesuai dengan visi-misi dan ciri masing-masing dalam mangelola dan memanfaatkan SDM dan SDA.
Seiring dengan pengaturan penetapan peran para pelaku ekonomi (Koperasi, BUMN dan Swasta) juga harus diikuti dengan pengaturan “pasar yang bercirikan keadilan.” Yaitu pasar yang mampu memadukan, menyelaraskan, berkolaborasi, bergotong royongnya para pelaku ekonomi dalam mengelola sumber daya alam, melalui mekanisme kemiteraan yang selaras dan seimbang.
Tentu mereka harus saling menguntungkan dan saling menghidupi, yang menurut Bung Hatta (1944) disebut, “kesatuan dan kerukunan ekonomi nasional.”
Dengan ditetapkan lebih dulu pola tata peran pelaku ekonomi oleh negara, maka mekanisme kemitraan yang selaras dan seimbang akan lebih terbuka antara Koperasi, BUMN dan Swasta.
Di samping meningkatkan produktivitas dan efektifitas kolektif, kondisi ini akan meningkatkan usaha ekonomi rakyat: yaitu para petani, nelayan dan pengrajin.
Begitu pula jutaan pengusaha mikro yang sedang berjuang untuk keluar dari kesulitan, akan mendapat bantuan penguatan dari koperasi yang bermitra dengan BUMN dan Swasta.
Untuk menyamakan persepsi pengertian “dikuasai negara” seyogiyanya kita menggunakan rumusan dari Panitia Keuangan dan Perekonomian, yang dibentuk oleh BPUPKI. Hal ini agar tafsir kita pada pancasila dan konstitusi, selaras dengan pikiran para pendiri republik.
Pada akhirnya, republik ini harus mentradisikan keselarasan agensi dan legislasi. Kita butuh modul, model dan modal secara konsisten dan persisten. Mari segera hadirkan hal tersebut di nusantara tercinta.