AUTENTIKWOMAN.Com-Nusantara Centre bersama Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensetneg) Bambang Eko Suhariyanto dan tim pakar Presiden yang dimotori oleh Prof. Burhanuddin Abdullah, menggelar rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perekonomian Nasional 2025, pada Sabtu, 13 September 2025, bertempat di Jl. Hang Tuah V No.49, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Burhandudin Abdullah, yang juga menjabat sebagai Komisaris Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyoroti inkonsistensi pemerintah dalam kebijakan ekonomi yang cenderung pro-kapitalis.
Penerima Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden RI Prabowo Subianto ini mengingatkan perlunya kejelasan mengenai siapa saja pelaku penggerak ekonomi Pancasila, apakah pemerintah, BUMN, koperasi, atau sektor lain.
Dalam paparannya, Bambang Eko Suhariyanto menyambut baik RUU Perekonomian Nasional 2025. Dia menyoroti pentingnya analisis risiko dalam perumusan RUU Perekonomian Nasional 2025.
Dia berpendapat, setiap pasal harus mempertimbangkan dampak jangka panjang agar kebijakan ekonomi tidak menimbulkan gejolak di kemudian hari.
Anggota tim pakar lainnya, Budi Mulia menegaskan perlunya arah sistem ekonomi Indonesia yang berpijak pada Pasal 33 ayat 1 UUD 1945.
“Para stakeholders harus menyadari pentingnya RUU ini sebagai undang-undang induk sistem ekonomi nasional yang mengarahkan pasar agar tetap terkendali oleh prinsip keadilan sosial,” ucap dia.
Di sisi lainnya, Dadan berpendapat RUU Perekonomian Nasional 2025 berfungsi sebagai pengkalibrasi terhadap praktik ekonomi yang berjalan saat ini.
Sementara, Khairil memberikan catatan agar naskah RUU Perekonomian Nasional 2025 tidak terjebak dalam sekadar “pelabelan Pancasila”.
“Pancasila seharusnya menjadi nilai bersama yang hidup dalam praktik kebijakan, bukan sekadar slogan,” ujarnya.
Ekonom muda Agus Rizal menambahkan bahwa dalam hakikat ekonomi Pancasila terkandung konsep “midwife state”, yaitu negara hadir sebagai pelindung yang membangun tatanan sosial dalam berekonomi.
Senada dengan itu, Prof. Yudhie Haryono menekankan bahwa RUU Perekonomian Nasional 2025 ini merujuk pada UUD 1945 yang asli dan harus menjadi antitesis dari omnibus law.
Yudhie melanjutkan, RUU ini bukan sekadar regulasi ekonomi, melainkan juga instrumen untuk melawan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Pertemuan dimulai pukul 13.00 WIB dan berlangsung hingga sore hari dengan suasana diskusi yang intens dan konstruktif mengenai Pancasila sebagai Ruh Ekonomi Nasional.
Rapat dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, di antaranya Budi Mulia, Dadang, Khairil, Dwi Badarmanto, Prof. Yudhie Haryono bersama rekan-rekan dari Nusantara Centre Asy’ari Muchtar, Rian Prasetyo, dan Setiyo Wibowo. Ekonom Pancasila Dr. Agus Rizal bersama rekan-rekan dari Universitas M.H. Thamrin Dedi Setiadi, Firdaus, dan Yaya Sunaryo.
Menuju Ekonomi Pancasila
Diskusi yang berlangsung hampir setengah hari ini mencerminkan keseriusan para peserta dalam merumuskan arah baru ekonomi nasional. Semua sepakat bahwa Indonesia membutuhkan regulasi ekonomi yang kuat, berpijak pada UUD 1945, serta berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
RUU Perekonomian Nasional 2025 adalah sebuah ikhtiar untuk memastikan ekonomi Indonesia ke arah yang baru yang Pancasilais. Arah baru ekonomi yang ditempuh melalui nasionalisasi, restrukturalisasi, redistribusi, rekapitalisasi, reindustrialisasi. Peta jalan inilah yang akan membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Rapat ditutup dengan kesepakatan untuk menyempurnakan draft RUU Perekonomian Nasional 2025 berdasarkan masukan yang telah disampaikan. Harapannya, regulasi ini kelak dapat menjadi fondasi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan, mandiri, dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa.