NEGERIMU NEGERI TIPSANI

OPINI582 Views

Dalam kitab Blowjob karya penghuni istana hari ini tertulis, “Jika tak bisa menang dengan angka, gunakan bunga. Jika tak bisa menang dengan bunga, pakailah penjara. Jika tak bisa menang dengan penjara, mainkan senjata.”

Kamu membaca berulang-ulang mantera itu di depanku. Lalu, kau baca postulat politik modern yang kini jadi mantera, “Politik republik itu adalah ketika apa yang dipikirkan tidak sama dengan apa yang dikatakan dan tidak sama juga dengan apa yang dilakukan.”

“Itulah otak pilkadal bin Sarimin,” kataku. Itulah nalar kolonial. Jauh dari otak pemimpin yang negarawan. Jauh dari Indonesia. Inilah pengkhianat Pancasila. Mereka cuma berfilsafat, “Bayar semuanya, atur semaunya, beli semurahnya, gilas seenaknya.”

Miliaran purnama berlalu. Jutaan detik terlewati. Berlari dan berjalan aku tanpa melirik pada dunia. Tak pernah ada cinta yang lain. Tak tertarik pada harta, tahta dan wanita. Sebab, hatiku terbuka hanya untuknya: untuk pengetahuan dan ilmu-ilmu nusantara. Untuk perlawanan. Untuk memenangkan perang dan tempur.

Kini. Aku masih sering bermimpi memelukmu di Danau Ateh. Tentu, sambil bercerita soal novel-novel Dan Brown yang luar biasa itu. Tetapi, kegelapan zaman ini terus menunda mimpi itu. Bahkan, kita lelap dalam kejaran rizki yang tak pasti.

Danau ini terletak di Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Danau ini bersama-sama dengan Danau Bawah, dikenal sebagai Danau Kembar. Sebab memang serupa walau tak sama.

Kau tahu, Dan Brown adalah novelis lulusan Universitas Amherst. Sebelum menjadi penulis, ia pernah berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Saat ini bertempat tinggal di New England. Ia menulis banyak novel: 1997 Digital Fortress, 2000 Angels and Demons, 2001 Deception Point, 2003 The Da Vinci Code, 2009 The Lost Symbol, 2013 Inferno dan tahun 2017 Origin. Fatwanya keren, “Aku menganggap diriku sebagai murid dari banyak agama. Semakin aku belajar, semakin banyak pertanyaan yang kumiliki. Bagiku, pencarian iman adalah sebuah proses yang panjang.”

Eh, kamu tiba-tiba menyela, “Yank mengapa kita melarat?” Tentu, yang paling utama adalah karena kita tak mau membuang metoda hidup lama yang usang. Hidup kita aman di negara tanpa kreasi kecuali utang, gadai dan obral. Sedihnya, melarat jadi kunci dan syarat di negara produsen pengkhianat dan penjahat terbesar di dunia dan akherat.

Mencipta hidup baru itu mudah. Meninggalkan pola hidup lama itu yang susah. Pada pola lama, inovasi diabsenkan, kreasi dinihilkan, produksi dan industri diharamkan, kecerdasan dan kejeniusan dipenjarakan.

So, soal melarat adalah soal “kenyamanan” pada kejahiliyahan (bersama) yang diresmikan oleh negara via begundal kolonial yang berkuasa dengan teks-teks ketikan mereka. Di negara bermental kolonial, banyak kebijakan tidak berlandaskan ilmu pengetahuan. Akhirnya semua malas mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Padahal, ilmu pengetahuan adalah alat kemandirian.

Itulah mengapa, pilpres (dengan pola lama) kita baru berhasil menegakkan demokrasi (para) pencuri yang menternak pencuri demokrasi. Resiprokal. Tak lebih. Tak kurang.

Maka, berhati-hatilah. Banyak kejahatan negara melarat dimulai dari kemelaratan ide dan pembagian sogok serupiah-dua rupiah. Kekerean dan kejahatan ini juga bisa berjejak pada ketiadaan sejarah perlawanan dan tanpa genealogi pemikiran serta ilusi yang dibesar-besarkan via media (pencitraan yang hiperrealitas).

Mau tahu hukum besi sejarah peradaban besar? MENINGGALKÀN DAN MENCIPTAKAN. ITU KUNCINYA. Mari mulai. Segera.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *