Dalam satu kesempatan, Adam Smith (1723-1790) berkata, “keputusan ekonomi yang bijak adalah hasil dari pemahaman yang mendalam tentang risiko dan manfaat bagi negaranya.” Tanpa keputusan yang benar, ekonomi nasional hanya tulisan, bukan sistem yang bijaksana.
Berangkat dari tesis tersebut, program merancang legislasi ekonomi menjadi keniscayaan sekaligus mandat konstitusional yang sah. Kebutuhan akan undang-undang ini wajib hadir secara struktural dan kultural. Tentu, kita harus bongkar skema lama (yang parsial, residual, menguntungkan satu pihak, terpecah-pecah, non-ideologis), lalu bangun sistem yang berpihak pada semua (adil, berdaulat, beradab, simultan, komprehensif).
Sungguh. Kita tidak sedang kekurangan teori atau cita-cita ekonomi. Kekurangan kita adalah keberanian hukum untuk mengubah sistem yang gagal total mewujudkan keadilan. Undang-Undang Perekonomian Nasional (disingkat UUPN) yang selama ini ditunda terus-menerus bukan karena belum dipahami urgensinya, tapi karena terlalu banyak pihak yang nyaman dengan sistem lama yang timpang. Mereka untung saat orang kebanyakan buntung.
Padahal tanpa kerangka hukum utama yang berpihak, seluruh arah ekonomi nasional hari ini tak lebih dari tambal sulam kebijakan jangka pendek yang justru menormalisasi ketimpangan; menyengajakan kemiskinan; menumpuk pengangguran; mentradisikan keserakahan.
Selama ini, hukum ekonomi dipakai untuk menjaga pertumbuhan, bukan pemerataan. Untuk melindungi korporasi, bukan koperasi. Untuk mengamankan modal besar, bukan keberlangsungan hidup warga-negara. Kita menghadapi kenyataan pahit: konstitusi berbicara soal gotong royong dan kedaulatan ekonomi, tapi praktik perundang-undangan lebih banyak tunduk pada logika pasar bebas dan tekanan lobi investasi.
Kekosongan UUPN itulah yang menjadikan negara ini kehilangan kendali atas arah pembangunan ekonominya sendiri. Lihat saja bagaimana agenda pembangunan disusun. Rencana lima tahunan disiapkan secara teknokratis, terputus dari mandat Pancasila serta UUD 1945, sehingga tanpa kerangka hukum yang mengikat.
Sedihnya, setiap ganti pemerintahan, ganti narasi. Tidak ada fondasi hukum yang menjamin bahwa ekonomi kita bergerak ke arah yang benar: adil, berkelanjutan, dan berpihak pada yang lemah. Justru yang dilanggengkan adalah status quo yang menempatkan warga negara sebagai target bantuan, bukan pelaku utama ekonomi.
Sudah waktunya kita mengakhiri sistem ekonomi yang menjadikan hukum sebagai pelayan pertumbuhan eksklusif. Legislasi ekonomi harus dibangun kembali, bukan dengan logika teknokratik dari atas, tapi melalui tekanan publik dari bawah.
Rancangan UUPN harus lahir dari tangan warga negara sendiri, bukan dari hasil kompromi ruang tertutup antara elite partai dan pelobi industri. Prosesnya harus terbuka, partisipatif, dan berani menabrak kenyamanan yang sudah terlalu lama dimonopoli oligarki.
Koperasi, BUMN, dan usaha rakyat lainnya bukan pelengkap narasi ekonomi. Mereka harus jadi pilar utama yang dilindungi hukum. Jika negara serius ingin membangun ekonomi yang demokratis, maka UUPN ini harus mewajibkan afirmasi terhadap pelaku ekonomi kecil, redistribusi akses terhadap tanah, modal, teknologi, dan pasar.
Tentu saja, kita tidak butuh subsidi yang bersifat karitatif. Sebaliknya, kita butuh sistem ekonomi yang dibentuk secara sadar untuk membalik struktur ketimpangan yang selama ini dianggap normal. Kita butuh revolusi konstitusi yang adil dan beradab.
Skema gotong royong hanya bisa hidup jika negara hadir. Dan, kehadiran negara bukan cukup dengan wacana. Ia harus diikat oleh hukum. UUPN harus secara terang mengharamkan praktik gotong-nyolong yang dilegitimasi lewat celah hukum. Ini bukan soal moral semata, tapi soal struktur. Ketika hukum membiarkan, maka yang kuat akan terus menang dan yang lemah terus dikorbankan. Ini harus diputus: diakhiri sekarang juga!
Tiga langkah mendesak harus dilakukan. Pertama, bentuk sidang warga negara di seluruh daerah untuk menyusun draft aspiratif. Kedua, bangun koalisi lintas kampus, komunitas, dan pelaku ekonomi rakyat untuk mengawal proses legislasi. Ketiga, dorong terbentuknya Indeks Legislasi Ekonomi Berkeadilan sebagai alat pemantau seluruh produk hukum yang keluar dari parlemen.
Ini sangat penting karena kita tidak bisa lagi percaya penuh pada niat baik politik tanpa alat kontrol yang kuat. Parpol dan elite nasional terbukti tak sungguh-sungguh membela semua warga-negara. Sebaliknya, mereka membela dirinya saja.
Pemerataan ekonomi tidak bisa dicapai lewat seremonial. Ia hanya akan lahir dari perubahan struktural. Dan, perubahan itu tidak akan datang jika kita terus diam. Kita harus paksa hukum kembali ke jalan keadilan. Kita harus rebut ruang legislasi dari cengkeraman elite ekonomi. Kita harus memulai perlawanan dari hal paling dasar: mengatur ulang sistem.
Jika kita ingin Indonesia merdeka secara ekonomi, maka UUPN bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah pertaruhan sejarah. Kita sedang menentukan apakah ekonomi negeri ini akan terus dikendalikan dari atas oleh segelintir penguasa modal, atau dikembalikan ke tangan warga negara sebagai pemilik sah republik ini. Diam adalah izin. Bergerak adalah syarat.
Ingat kata Bung Karno (1901-1970) proklamator kita, “berdikarilah. Jangan bergantung pada bangsa lain, bangunlah kemandirian di semua lini.” Mari. Segerakan. Kini bukan nanti. Mestakung.