JAKARTA, AUTENTIKWOMAN.Com-Muriel Stuart Walker atau lebih dikenal dengan nama K’tut Tantri adalah perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang membantu menyebarkan berita perjuangan Indonesia melalui radio. Dia lahir di Skotlandia pada 1898, dan memutuskan pindah ke Bali dari Amerika di usia 34 tahun setelah terpesona film Bali, The Last Paradise yang dia tonton. Tantri menuliskan kisah perjalanannya dalam otobiografi yang berjudul Revolt In Paradise, atau Revolusi di Nusa Damai.
Di Bali, Tantri diangkat keluarga Kerajaan Klungkung. “Kau kami namakan K’tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu,” cerita K’tut di otobografinya, menirukan kata sang Raja Klungkung, ayah angkatnya.
Kehidupan Tantri di lingkungan Kerajaan Klungkung membuat dia mencintai Indonesia. Dia banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaannya. Selama perjalanan, Tantri sempat berpindah-pindah daerah, termasuk ke Surabaya, dan Yogyakarta.
Pada 10 November 1945, di tengah situasi perang, Tantri dengan lantang membacakan pidato berbahasa Inggris. “Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris, barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,“teriaknya.
“Perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet, dan Swedia. Kuminta mereka menyertai aku dalam siaran malam itu untuk memprotes tindakan pengeboman serta menyatakan sikap mereka mengenai tindakan Inggris (di Surabaya),’’ tulisnya lagi. Perisiwa tersebut membuat K’tut Tantri dijuluki “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.
K’tut dianggap berbahaya. Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan pemberian hadiah sebesar 50.000 gulden kepada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K’tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya. Sayembara tersebut dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
“Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia,” kata dia. “Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi, jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian,” tantang Tantri.
K’tut Tantri kemudian melakukan perjalanan keliling bersama tokoh-tokoh perjuangan yang lain. Dia juga kerap menulis artikel, salah satunya di majalah The Voice of Free Indonesia. Salah satu artikel Tantri yang membuat Belanda marah adalah “Lest We Forget”. “Agar Kita Jangan Lupa”. Tantri juga pernah mengikuti Bung Karno yang berpidato di hadapan rakyat. Di salah satu kota yang mereka singgahi, Tantri menceritakan kejadian saat Bung Karno mengenalkan dirinya di hadapan rakyatya. “Kuperkenalkan saudara K’tut Tantri dari Pulau Bali,” cerita Tantri menirukan kalimat Bung Karno.
“Saudara K’tut ini warga Amerika kelahiran Inggris, tetapi dia lebih Indonesia daripada Inggris, dan Amerika. Ia satu-satunya orang asing yang secara terang-terangan memihak kita. Ia telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu kita berjuang demi kemerdekaan”.
“Aku ingin agar setiap lelaki, perempuan, dan anak-anak yang ada di sini malam ini memandang wajah K’tut Tantri, dan mengngatnya baik-baik.” “Kuserahkan Saudara K’tut Tantri pada perlindungan saudara sekalian. Kalau perlu, korbankanlah nyawa untuk menjaganya.” Pernyataan Bung Karno membuat Tantri terkejut, dan menangis terharu. “Aku harus memaksa diri untuk tetap bersikap tenang,” kata dia.
Pada November 1998, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya kepada wanita yang kini bernama lengkap Ni K’tut Tantri. Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi kedua yang dia terima bukan hanya karena keterlibatannya dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950.
Tantri wafat di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales, pada Minggu malam, 27 Juli 1997. Jelang kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya.