AUTENTIKWOMAN.Com– Jodoh, maut dan rezeki sudah tertulis dalam takdirnya. Seperti halnya, kisah pertemuan dua anak manusia yang dipisahkan oleh kematian menjadi takdirnya juga.
Jauh di negara Swiss yang bersalju, takdir mulai merajut kisah dua insan yang kelak menjadi Raja dan Ratu yang amat dicintai oleh rakyat Thailand.
Pertemuan pertama mereka bukanlah di aula istana yang megah, melainkan di sebuah tempat yang sederhana: Konservatori Lausanne. Di sanalah, Bhumibol Adulyadej, seorang pangeran muda yang tengah menempuh pendidikan, bertemu dengan Sirikit Kitiyakara, putri seorang diplomat yang masih belia dan berbakat.
Cinta mereka tumbuh dalam kesederhanaan, jauh dari gemerlap kehidupan kerajaan. Bhumibol yang dikenal sebagai musisi jazz berbakat, menemukan harmoni baru dalam tawa dan senyum Sirikit. Mereka berbagi minat yang sama, terutama terhadap musik, yang menjadi bahasa universal bagi keduanya, sebagaimana diberitakan Reuters dan Asharq al Awsath.
Ketika kecelakaan tragis menimpa Bhumibol, yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit, cinta Sirikit diuji. Dengan setia, Sirikit menjenguknya setiap hari, mendampingi sang pangeran dengan ketulusan dan perhatian.
Kebaikan dan ketulusan Sirikit bagaikan obat penenang bagi Bhumibol, meyakinkan hatinya bahwa dia telah menemukan belahan jiwa.

Puncak dari kisah cinta mereka pun tiba ketika Bhumibol meminang Sirikit. Pinangan itu bukanlah semata-mata keputusan politik, melainkan ungkapan hati yang tulus. Pada 19 Juli 1949, dalam sebuah upacara pertunangan sederhana di Lausanne, Pangeran Bhumibol secara resmi melamar Sirikit.
Dia menggunakan cincin pertunangan warisan sang ibunda, sebuah simbol cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di momen sakral itulah, janji suci terucap, mengikat dua hati untuk selamanya.
Setahun kemudian, Bhumibol dan Sirikit kembali ke Thailand untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. Tepat pada 28 April 1950, mereka melangsungkan pernikahan di Istana Pathumwan, sebuah upacara yang penuh makna dan khidmat.

Pernikahan mereka menjadi simbol harapan bagi rakyat Thailand, yang melihat pasangan ini sebagai representasi masa depan yang cerah. Tak lama setelah itu, Bhumibol secara resmi dinobatkan sebagai Raja Rama IX, dan Sirikit dinobatkan sebagai Ratu pendamping.
Sejak saat itu, keduanya tak lagi hanya milik satu sama lain, melainkan juga milik seluruh rakyat Thailand. Mereka menyadari bahwa cinta mereka kini memiliki tanggung jawab yang lebih besar, memimpin dan menyejahterakan rakyat.
Kemegahan istana tidak mengisolasi keduanya dari realitas yang dihadapi rakyat Thailand. Justru, cinta pasangan setia ini menjadi kekuatan yang menggerakkan langkah mereka untuk turun langsung ke pelosok negeri.
Dengan penuh semangat, Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit mengabdikan diri pada rakyat. Mereka melakukan kunjungan ke desa-desa terpencil, mendengarkan keluh kesah rakyat secara langsung, dan mengamati kondisi kehidupan mereka dengan mata kepala sendiri. Di setiap langkah, mereka selalu bersama, saling menguatkan, dan berbagi beban. Mereka tidak hanya memberikan janji, tetapi juga solusi yang nyata.
Raja Bhumibol, dengan kecerdasan dan visinya yang jauh ke depan, merancang program-program yang dikenal sebagai “Filosofi Ekonomi Kecukupan,” yang menekankan pada pembangunan yang seimbang dan berkesinambungan. Sementara itu, Ratu Sirikit berfokus pada kesejahteraan masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak.

Ratu Sirikit memainkan peran penting dalam revitalisasi kerajinan tradisional Thailand. Dia mendirikan Yayasan Promosi Kerajinan Rakyat (SUPPORT), yang membantu mempromosikan produk-produk kerajinan tangan dari pedesaan dan mempromosikannya ke seluruh dunia.
Kehadiran buah hati menjadi perekat cinta diantara mereka berdua. Putri Ubol Ratana, Pangeran Maha Vajiralongkorn, Putri Maha Chakri Sirindhorn, dan Putri Chulabhorn Walailak, membawa kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit adalah pasangan yang saling melengkapi. Bhumibol, dengan kepemimpinan yang tenang dan bijaksana, serta visinya yang jauh ke depan, bagaikan nahkoda yang tangguh.
Sementara Sirikit, dengan kehangatan dan kepekaannya terhadap rakyat, bagaikan kompas yang selalu mengarahkan ke jalan yang benar. Kombinasi kekuatan dan kelembutan inilah yang membuat kepemimpinan mereka begitu efektif.
Mereka berdua juga menjadi simbol stabilitas di tengah badai politik yang sering melanda Thailand. Di masa-masa sulit, kehadiran mereka selalu menjadi penenang bagi rakyat. Mampu menjembatani perbedaan, meredam ketegangan, dan menyatukan berbagai elemen masyarakat. Kepercayaan dan penghormatan yang mendalam dari rakyat adalah bukti nyata bahwa mereka berhasil menjalankan tugas mereka dengan penuh cinta dan tanggung jawab.

kebijakan telah berakar dalam hati rakyat, menciptakan ikatan batin yang tak terpisahkan.
Kisah Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit adalah kisah tentang cinta, kesetiaan, dan pengabdian yang tak pernah lekang oleh waktu. Ia adalah kisah cinta yang tak hanya milik mereka, tetapi juga milik seluruh bangsa Thailand.

Hingga akhir hayatnya, Bhumibol dan Sirikit tetap menjadi simbol cinta yang abadi dan teladan kepemimpinan yang menginspirasi. Cinta yang mereka bangun bukan hanya fondasi bagi keluarga mereka, tetapi juga dasar bagi kemajuan Thailand detik ini.
Mereka pergi, tetapi warisan cinta dan pengabdian mereka tetap hidup, mengalir dalam nadi setiap rakyat Thailand, dan akan terus mengalir untuk selamanya.
Ibu Suri Thailand, Ratu Sirikit, meninggal dunia di usia 93 tahun pada Jumat, 24 Oktober 2025 di rumah sakit karena komplikasi akibat sepsis darah.






