DARI EKONOMI PASAR BEBAS KE EKONOMI PANCASILA

OPINI305 Views

Sekali lagi terjadi demonstrasi. Berkali-kali krisis ekonomi. Kerugian materiil dan immaterial begitu besar. Sampai hari ini, belum dihitung berapa kerugian kita semua atas peristiwa yang masih berlangsung. Warga umum bingung. Negara bingung. Pemerintah sebagai penjaga keadilan ekonomi limbung. Inilah buah dari ketidakadilan ekonomi, ketidakberdaulatan ekonomi dan penjajahan ekonom pasar serta diberlakukannya “agama pasar” dalam ekonomi.

Ya. Ekonomi pasar bebas yang tumbuh dalam kerangka neoliberalisme sering dianggap sebagai mekanisme paling efisien untuk mengatur perekonomian. Kekayaan negara tumbuh, kebebasan bertransaksi dijamin, lapangan pekerjaan tersedia. Benarkah begitu? Riset Joseph Stiglitz (2002) menunjukkan sebaliknya: bahwa liberalisasi yang berlebihan justru memicu krisis dan memperlebar ketimpangan. Pasar tidak pernah benar-benar netral, melainkan condong dikuasai oleh pihak yang memiliki modal, teknologi, dan akses politik. Kondisi ini menegaskan bahwa pasar bebas yang dibiarkan otonom menyisakan kegagalan struktural yang serius.

Di Indonesia, iman pada ekonomi pasar bebas itu membuat krisis berulang, kemiskinan stabil, ketimpangan melebar, lapangan pekerjaan hilang, kesakitan meningkat, frustasi menjadi tradisi, hukum lumpuh dan mobokrasi terhadirkan dengan tidak tak terelakkan. 50 tahun sudah kita dikerangkeng oleh pikiran, lembaga dan agensi yang beragama itu dan hasilnya sedang terus kita nikmati: distrust society dan terbelahnya bangsa kita.

Jika tak ingin terus begitu, tidak ada pilihan lain: tobat mlarat. Balik arah, kembali ke ekonomi berbasis pancasila dan konstitusi asli. Ekonomi Pancasila menjadi tawaran alternatif yang menekankan nilai spiritual, keadilan sosial, kebersamaan, dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif. Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya tentang pertumbuhan, tetapi juga tentang kebebasan substantif, yakni sejauh mana warga negara memiliki akses pada pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja secara adil dan beradab. Dalam kerangka ini, ekonomi Pancasila menempatkan negara sebagai penjaga nilai kemanusiaan, penjaga moral kebangsaan dan perealisasi kepentingan nasional.

Peran negara sebagai penjaga moral ekonomi terkait erat dengan fungsi kelembagaan. Ada empat elemen utama yang menentukan keberhasilan kelembagaan: kekuasaan efektif, perspektif politik, keahlian profesional, dan partisipasi masyarakat.

Kekuasaan efektif memastikan bahwa kebijakan benar-benar bisa ditegakkan; perspektif politik menjamin adanya arah ideologis yang jelas; keahlian profesional memberikan kapasitas teknis dalam merancang dan melaksanakan kebijakan; sementara partisipasi seluruh warga negara memastikan legitimasi serta keberlanjutan.

Jika keempat elemen kelembagaan tersebut absen atau lemah, maka perekonomian cenderung rapuh dan rentan memicu pergolakan sosial. Ketidakmampuan negara menegakkan kekuasaan efektif akan melahirkan oligarki ekonomi. Hilangnya perspektif politik membuat kebijakan kehilangan arah dan mudah ditunggangi kepentingan asing. Tanpa keahlian profesional, kebijakan ekonomi menjadi tidak realistis dan gagal menjawab tantangan. Dan jika partisipasi warga negara dikesampingkan, akan muncul delegitimasi yang memicu perlawanan sosial.

Sebagai penjaga moral dan pelindung, negara harus memastikan bahwa keempat elemen kelembagaan tersebut hadir secara seimbang. John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice menekankan bahwa keadilan menuntut keberpihakan pada kelompok lemah. Dalam kerangka ekonomi Pancasila, ini berarti negara perlu menghadirkan regulasi yang melindungi masyarakat kecil, intervensi yang mengoreksi distorsi pasar, dan kebijakan realokasi, restrukturalisasi dan redistributif yang menyeimbangkan akses terhadap sumber daya.

Ha-Joon Chang (2002) menegaskan bahwa negara-negara maju sebenarnya tumbuh berkat intervensi dan proteksi, bukan pasar bebas. Indonesia pun memiliki legitimasi moral dan historis untuk menempatkan negara sebagai aktor utama dalam menjaga industri dan proyek strategis, melindungi ekonomi lokal, dan mendorong partisipasi semua warga negara. Dengan kelembagaan yang kokoh berbasis empat elemen, negara dapat menjalankan fungsi perlindungan secara efektif dan sahih secara moral.

Dengan demikian, pergeseran dari pasar bebas menuju ekonomi Pancasila bukan sekadar pilihan teknis, melainkan juga pilihan ideologis dan kelembagaan. Negara harus berfungsi sebagai penjaga moral sekaligus pelindung keadilan dengan menegakkan kekuasaan efektif, mengarahkan perspektif politik, mengandalkan keahlian profesional, dan memastikan partisipasi seluruh warga negara. Tanpa itu semua, pergolakan sosial menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Sebaliknya, dengan fondasi kelembagaan yang kuat, ekonomi Pancasila dapat menjadi jalan bagi kedaulatan bangsa sekaligus keadilan social, serta kesentosaan seluruh warga negara.

Akhirnya, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah keberanian politik untuk benar-benar menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Pancasila dalam menghadapi tekanan globalisasi dan krisis yang dilembagakan oleh ekonom neoliberalis. Ekonomi Indonesia harus berdiri sendiri tanpa pasar bebas, karena landasan ideologis dan kekuatan kelembagaan mampu menjaga kedaulatan.

Singkatnya, negara harus hadir bukan sekadar sebagai regulator teknis, melainkan sebagai pelindung moral yang menjamin keseimbangan antara kepentingan individu, pasar, dan kepentingan kolektif bangsa. Dengan itu, ekonomi Pancasila bukan hanya doktrin normatif, melainkan strategi nyata untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan warga negara. Krisis dan demonstrasi yang berulang sesungguhnya adalah alarm nyata bagi kita semua. Semoga elite tidak tuli, buta dan bisu pada “kemarahan kaum miskin” akibat kebijakan salah arah dan mengkhianati pancasila serta memunggungi para pendiri repubik.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *