Duh, Ada Kode “Uang Zakat” dalam Kasus Korupsi LPEI Sebesar Rp11,7 Triliun

News7992 Views

AUTENTIKWOMAN.Com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar adanya kode “Uang Zakat” dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Istilah itu muncul ketika direksi LPEI meminta jatah kepada debitur. Jumlah “Uang Zakat” itu diberikan sebesar 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang dicairkan.

Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo Wibowo mengatakan memang ada namanya “Uang Zakat” yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut.

“Besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan,” katanya di Gedung Merah Putih, Jakarta, kemarin.

Terkait perkara tersebut, saat ini, KPK menetapkan lima yaitu Dwi Wahyudi selaku Direktur Pelaksana I LPEI; Arif Setiawan selaku Direktur Pelaksana IV LPEI; Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku debitur dari PT Petro Energy.

“Jadi, ada beberapa hal perbuatan-perbuatan melawan hukum yang akan saya jelaskan di sini,” kata Budi Sokmo Wibowo.

Dalam perkara ini, LPEI diduga memberikan fasilitas kredit kepada PT Petro Energy meskipun sudah mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak layak diberikan kredit.

“Kemudian Direksi LPEI ini tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diberikan pada saat PT PE (Petro Energy) ini melakukan atau mengajukan proposal kredit,” tutur dia.

Budi juga menambahkan bahwa PT Petro Energy membuat kontrak palsu yang dijadikan dasar ketika mengajukan kredit ke LPEI.

Hal ini, kata dia, sudah diketahui oleh direksi LPEI, namun mereka tidak melakukan pengecekan.

Bahkan, LPEI membiarkan kredit pertama dicairkan sebesar Rp229 miliar.

“Dan ini sudah diketahui dan diberikan masukan oleh pihak analis ataupun bawahan dari direktur. Namun, para direktur tetap memberikan kredit kepada PT PE walaupun kondisi tersebut sudah dilaporkan dari bawahan,” ujarnya.

Budi juga mengatakan bahwa PT Petro Energy seharusnya tidak berhak mendapatkan top-up kredit sebesar Rp 400 miliar dan Rp 200 miliar setelah pencairan yang pertama.

“Namun, ini tidak diindahkan oleh para direktur yang mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap dikeluarkannya kredit tersebut,”ucapnya.

Tak hanya itu, PT Petro Energy memalsukan purchase order maupun invoice tagihan yang digunakan ketika melakukan pencairan di LPEI.

Hal ini terkonfirmasi dari saksi-saksi maupun dokumen-dokumen serta barang bukti elektronik yang ditemukan penyidik KPK. Di sisi lain, LPEI menyebutkan di dalam proposal bahwa tujuan memproduksi kredit adalah untuk bisnis bahan bakar solar.

“Namun faktanya, mereka melakukan side streaming, jadi tidak digunakan untuk bisnis solar tersebut, tetapi malah digunakan untuk berinvestasi ke usaha yang lain,” ujar Budi.

Kerugian Rp 11,7 triliun

Berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi di LPEI ini mencapai 60 juta dollar AS atau setara Rp 900 miliar.

“Jadi, total kurang lebih Rp 900 miliar atau dikurskan dalam USD kurang lebih 60 juta USD,” kata dia.

Hingga saat ini, KPK baru mengungkap 1 dari 11 debitur yang menerima fasilitas kredit dari LPEI tersebut, yaitu PT Petro Energy. Potensi kerugian negara dari korupsi pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada 11 debitur secara keseluruhan berpotensi merugikan negara Rp 11,7 triliun.

“Adapun total kredit yang diberikan dan juga menjadi potensi kerugian keuangan negara akibat pemberian kredit tersebut adalah kurang lebih Rp 11,7 triliun,” pungkas Budi.

Sebagai informasi, KPK membuka penyidikan dugaan fraud yang terjadi di LPEI. Kasus itu diumumkan sehari setelah Menkeu Sri Mulyani membuat laporan masalah serupa di Kejagung.

“KPK meningkatkan proses lidik dari dugaan penyimpangan atau dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari LPEI ini menjadi berstatus penyidikan,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Maret 2024.

Ghufron menjelaskan kasus itu langsung diumumkan setelah penyidik dan pejabat struktural KPK menggelar ekspose yang digelar hari ini. Pengumuman itu juga dilakukan menyikapi adanya aduan Sri Mulyani di Kejagung.

Menurut dia, dugaan korupsi itu dilaporkan ke KPK pada 10 Mei 2023. Lembaga Antirasuah menindaklanjutinya dan membuka penyelidikan pada 13 Februari 2024.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami temuan uang Rp 4,6 miliar hingga deretan barang mewah yang disita terkait penyidikan kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Temuan tersebut merupakan hasil penyitaan yang dilakukan tim penyidik KPK saat penggeledahan pada dua rumah dan satu kantor swasta yang berlokasi di Balikpapan, Kalimantan Timur sejak 31 Juli 2024 hingga 2 Agustus 2024.

Lewat penggeledahan ini, KPK diketahui menyita uang kurang lebih Rp 4,6 miliar, enam unit kendaraan, 13 buah logam mulia, sembilan jam tangan, 37 tas mewah, kurang lebih 100 perhiasan antaranya cincin, kalung, gelang, anting, dan liontin, serta barang bukti elektronik (BBE) berupa laptop dan hard disk, dan beberapa dokumen. KPK menduga barang-barang dimaksud memiliki keterkaitan dengan kasus LPEI.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *