JAKARTA, AUTENTIKWOMAN.Com-Wakil Presiden AS Kamala Harris mengakui kekalahan dari Donald Trump dalam Pilpres AS 2024. Dia secara terbuka mengaku telah berbicara dengan Presiden terpilih Trump pada Rabu, 6 November 2024. Dalam pembicaraan itu, Kemala menyampaikan ucapan selamat, dan menjanjikan pengalihan kekuasaan secara damai kepada Donald Trump.
“Kita harus menerima hasil pemilu ini. Sebelumnya hari ini, saya berbicara dengan Presiden terpilih Trump dan mengucapkan selamat atas kemenangannya,” kata Harris dalam sebuah pidato di almamaternya, Howard University, di Washington, AS.
“Saya juga mengatakan kepadanya bahwa kami akan membantunya, dan timnya dalam masa transisi, dan bahwa kami akan terlibat dalam peralihan kekuasaan secara damai,” tambahnya, dikutip dari AFP.
Kisah perjalalan karir seorang Kamala Harris tidak lah mudah karena perempuan berwajah manis itu bukanlah keturunan berkulit putih. “Nama saya diucapkan” Comma-la “, seperti tanda baca,” tulis Kamala Harris dalam otobiografinya tahun 2018, The Truths We Hold.
Senator California itu adalah anak dari ibu yang dilahirkan di India, dan ayah kelahiran Jamaika. Ia kemudian menjelaskan arti nama Indianya.
“Artinya ‘bunga teratai’, yang merupakan simbol penting dalam budaya India. Teratai tumbuh di bawah air, bunganya menjulang di atas permukaan sementara akarnya tertanam kuat di dasar sungai.”
Pada awal kehidupannya, Kamala muda, dan saudara perempuannya, Maya, dibesarkan di sebuah rumah yang diramaikan oleh musik seniman kulit hitam Amerika.
Ibunya bernyanyi lagu gospel Aretha Franklin, sedangkan ayahnya, pecinta jazz, yang mengajar ekonomi di Universitas Stanford, akan memutar lagu Thelonius Monk dan John Coltrane pada alat pemutar piringan hitam.
Shyamala Gopalan, dan Donald Harris berpisah ketika Kamala Harris berusia lima tahun.
Dia dibesarkan oleh ibunya -seorang penganut Hindu- yang merupakan seorang peneliti kanker dan aktivis hak-hak sipil.
Kamala, Maya, dan Shyamala dikenal sebagai “Shyamalaand the girls”. Ibunya memastikan kedua putrinya mengetahui latar belakang mereka.
“Ibu saya mengerti betul bahwa dia membesarkan dua anak perempuan kulit hitam. Dia tahu bahwa tanah air tempat anak-anaknya tumbuh besar akan melihat Maya, dan saya sebagai gadis kulit hitam, dan dia bertekad untuk memastikan kami akan tumbuh menjadi wanita kulit hitam yang percaya diri,” tulisnya.
“Harris tumbuh dengan merangkul budaya Indianya, tetapi menjalani kehidupan Afrika-Amerika tetapi menjalani kehidupan Afrika-Amerika dengan bangga,” tulis Washington Post tahun lalu.
Ketika dia mencalonkan diri untuk kursi Senat pada tahun 2015, majalah Economist menggambarkannya sebagai “putri seorang peneliti kanker India dan seorang profesor ekonomi Jamaika, dia adalah perempuan pertama, orang Afrika-Amerika dan Asia pertama yang menjadi Jaksa Agung California”.
Perempuan berusia 55 tahun itu mengatakan dia tidak bergulat dengan identitasnya, dan menggambarkan dirinya hanya sebagai “orang Amerika”.
Setelah gagalnya Kamala Harris menduduki kursi orang nomor satu di Negara Paman Sam, pertanyaannya adalah apakah muncul kembali perempuan-perempuan hebat di dunia yang ikut bertarung dalam pemilihan presiden berikutnya di seluruh belahan dunia? Jika Indonesia punya Presiden Megawati Soekarno Putri, akan kah negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China ikhlas memberikan tongkat estafet kepemimpinan diserahkan kepada perempuan?
Enam tahun bukanlah waktu yang lama. Terisisa bagi dunia untuk memenuhi janji yang dibuat kepada anak perempuan dan perempuan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, dan sebuah laporan baru oleh UN Women dan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa menyoroti tantangan terbesar yang tersisa untuk kesetaraan gender global.
Kurangnya perempuan dalam kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan, menghambat perumusan kebijakan yang komprehensif.